Daisypath Anniversary tickers

Thursday, May 26, 2005

Barangkali Kita Penyebabnya [1]

Mohon ma'af buat para pembaca blog yang udah aga bosen dengan tema pernikahan. Tapi tulisan ini bagus sekali. Dan insya Allah bisa memberikan pencerahan utk para pembacanya.
-----------------------------------------------------------------------------------
Barangkali, Kitalah Penyebabnya

oleh Muhammad Fauzail Adhim

Menjelang tengah malam, seorang ikhwan mengirim SMS kepada saya. Dia seorang aktivis yang amat banyak menghabiskan waktunya untuk menyebarkan kebaikan. Bila berbicara dengannya, kesan yang tampak adalah semangat yang besar di dadannya untuk melakukan perbaikan. Kalau saat ini yang mampu dilakukan masih amat kecil, tak apa-apa. Sebab perubahan yang besar tak 'kan terjadi bila kita tidak mau memulai dari yang kecil. Tetapi kali ini, ia berkirim SMS bukan untuk berbagi semangat. Ia kirimkan SMS karena ingin meringankan beban yang hampir ada kerinduan yang semakin berambah untuk memiliki pendamping yang dapat menyayanginya sepenuh hati.

SMS ini mengingatkan saya pada beberapa kasus lainnya. Usia sudah melewati tiga puluh, tetapi belum juga ada tempat untuk menambatkan rindu. Seorang pria usia sekitar 40 tahun, memiliki karier yang cukup sukses, merasakan betapa sepinya hidup tanpa istri. Ingin menikah, tapi takut ! tak bisa mempergauli istrinya dengan baik. Sementara terus melajang merupakan siksaan yang nyaris tak dapat ditahan. Dulu ia ingin menikah, ketika keriernya belum seberapa. Tetapi niat itu dipendam dalam-dalam karena merasa belum mapan. Ia harus mengumpulkan dulu uang yang cukup banyak agar bisa menyenangkan istri. Ia lupa bahwa kebahagiaan itu letaknya pada jiwa yang lapang, hati yang tulus, niat yang bersih dan penerimaan yang hangat. Ia juga lupa bahwa jika ingin mendapatkan istri yang bersahaja dan menerima apa adanya, jalannya adalah dengan menata hati, memantapkan tujuan dan meluruskan niat. Bila engkau ingin mendapatkan suami yang bisa menjaga pandangan, tak bisa engkau meraihnya dengan, "Hai, cowok... Godain kita, dong. "

Saya teringat dengan sabda Nabi Saw. (tapi ini bukan tentang nikah). Beliau berkata, "Ruh itu seperti pasukan tentara yang berbaris." Bila bertemu dengan yang serupa dengannya, ia akan mudah mengenali, mudah juga bergabung dan bersatu. Ia tak bisa mendapatkan pendamping yang mencintaimu dengan sederhana, sementara engkau jadikan gemerlap kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau jadikan gemerlap kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan suami yang menerimamu sepenuh hati dan tidak ada cinta di hatinya kecuali kepadamu; sementara engkau berusaha meraihnya dengan menawarkan kencan sebelum terikat oleh pernikahan? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan lelaki yang terjaga bila engkau mendekatinya dengan menggoda?

Di luar soal cara, kesulitan yang kita hadapi saat ingin meraih pernikahan yang diridhai tak jarang kerana kita sendiri mempersulitnya. Suatau saat seorang perempuan memerlukan perhatian dan kasih-sayang seorang suami, ia tidak mendapatkannya. Di saat ia merindukan hadirnya seorang anak yang ia kandung sendiri dengan rahimnya, tak ada suami yang menghampirinya. Padahal kecantikan telah ia miliki. Apalagi dengan penampilannya yang enak dipandang. Begitupun uang, tak ada lagi kekhawatiran pada dirinya. Jabatannya yang cukup mapan di perusahaan memungkinkan ia untuk membeli apa saja, kecuali kasih-sayang suami.

Kesempatan bukan tak pernah datang. Dulu, sudah beberapa kali ada yang mau serius dengannya, tetapi demi karir yang diimpikan, ia menolak semua ajakan serius. Kalau kemudian ada hubungan perasaan dengan seseorang, itu sebatas pacaran. Tak lebih. Sampai karier yang diimpikan tercapai; sampai ia tiba-tiba tersadar bahwa usianya sudah tidak terlalu muda lagi; sampai ia merasakan sepinya hidup tanpa suami, sementara orang-orang yang dulu bermaksud serius dengannya, sudah sibuk mengurusi anak-anak mereka. Sekarang, ketika kesadaran itu ada, mencari orang yang mau serius dengannya sangat sulit. Sama sulitnya menaklukkan hatinya ketika ia muda dulu.

Masih banyak cerita-cerita sedih semacam itu. Mereka menunda pernikahan di saat Allah memberi kemudahan. Mereka enggan melaksanakannya ketika Allah masih memberinya kesempatan karena alasan belum bisa menyelenggarakan walimah yang "wah". Mereka tetap mengelak, meski terus ada yang mendesak; baik lewat sindiran maupun dorongan yang terang-terangan. Meski ada kerinduan yang tak dapat diingkari, tetapi mereka menundanya karena masih ingin mengumpulkan biaya atau mengejar karier. Ada yang menampik "alasan karier" walau sebenarnya tak jauh berbeda. Seorang akhwat menunda nikah mesti ada yang mengkhitbah karena ingin meraih kesempatan kuliah S-2 ("Tahun depan kan belum tentu ada beasiswa"). Ia mendahulukan pra-sangka bahwa kesempatan kuliah S-2 tak akan datang dua kali, lalu mengorbankan pernikahan yang Rasullah Saw. Telah memperingatkan: "Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk meminang) yang engkau ridha terhadap agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Bila tidak engkau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan akan timbul kerusakan yang merata di muka bumi." (HR. At-Ti! rmidzi dan Ahmad).

Saya tidak tahu apakah ini merupakan hukum sejarah yang digariskan oleh Allah. Ketika orang mempersulit apa yang dimudahkan oleh Allah, mereka akhirnya benar-benarmendapati keadaan yang sulit dan nyaris tak menemukan jalan keluarnya. Mereka menunda-nunda pernikahan tanpa ada alasan syar'i, dan akhirnya mereka benar-benar takut melangkah di saat hati sudah sangat menginginkannya. Atau ada yang sudah benar-benar gelisah, tetapi tak kunjung ada yang mau serius dengannya.

Kadangkala, lingkaran ketakutan itu terus belanjut. Bila di usia-usia dua puluh tahunan mereka menuda nikah karena takut dengan ekonominya yang belum mapan, di usia menjelang tiga puluh hingga sekitar tiga puluh lima berubah lagi masalahnya. Laki-laki sering mengalami sindrom kemapanan (meski wanita juga banyak yang demikian, terutama mendekati usia 30 tahun). Mereka menginginkan pendamping dengan kriteria yang sulit dipenuhi. Seperti hukum kategori, semakin banyak ! kriteria semakin sedikit yang masuk kategori. Begitu pula dengan kriteria tentang jodoh, ketika kita menetapkan kriteria yang terlalu banyak, akhirnya bahkan tidak ada yang sesuai dengan keinginan kita. Sementara wanita yang sudah berusia sekitar 35 tahun, masalah mereka bukan soal kriteria, tetapi soal apakah ada orang yang mau menikah dengannya. Ketika usia 40-an, ketakutan yang dialami oleh laki-laki sudah berbeda lagi, kecuali bagi mereka yang tetap terjaga hatinya. Jika sebelumnya, banyak kriteria yang dipasang, pada usia 40-an muncul ketakutan apakah dapat mendampingi istri dengan baik. Lebih lebih ketika usia sudah beranjak mendekati 50 tahun, ada ketakutan lain yang mencekam. Ada kekhawatiran jangan-jangan di saat anak masih kecil, ia sudah tak sanggup lagi mencari nafkah. Atau ketika masalah nafkah tak merisaukan (karena tabungan yang melimpah), jangan-jangan ia sudah mati ketika anak-anak masih perlu banyak dinasehati. Bila tak ada iman di hati, ketakutan ini akhi! rnya melahirkan keputus-asaan.

Wallahu A'lam bishawab.

Barangkali Kita Sendiri Penyebabnya [2]

Ya... ya... ya..., kadang kita sendirilah penyebabnya, kita mempersulit apa yang telah Allah mudahkan, sehingga kita menghadapi kesulitan yang tak terbayangkan. Kita memperumit yang Ia sederhanakan, sehingga kita terbelit oleh kerumitan yang tak berujung. Kita menyombongkan atas apa yang tidak ada dalam kekuasaan kita, sehingga kita terpuruk dalam keluh-kesah yang berkepanjangan.

Maka, kalau kesulitan itu kita sendiri penyebabnya, beristighfarlah. Semoga Allah berkenan melapangkan jalan kita dan memudahkan urusan kita. Laa ilaaha illa Anta, subhanaKa inni kuntu minazh-zhalimin.

Berkenaan dengan sikap mempersulit, ada tingkat-tingkatannya. Seorang menolak untuk menikah boleh jadi karena matanya disilaukan oleh dunia, sementara agama ia tak mengerti. Belum sampai kepadanya pemahaman agama. Boleh jadi seorang menunda-nunda nikah karena yang datang kepadanya beda harakah, meskipun tak ada yang patut dicela dari agama dan akhlaknya. Boleh jadi ada di antara kita yang belum bisa meresapi keutamaan menyegerakan nikah, sehingga ia tak kunjung melakukannya. Boleh jadi pula ia sangat memahami benar pentingnya bersegera menikah, sudah ada kesiapan psikis maupun ilmu, telah datang kesempatan dari Allah, tetapi... sukunya berbeda, atau sebab-sebab lain yang sama sepelenya.

Ada Yang Tak Bisa Kita Ingkari

Kadang ada perasaan kepada seseorang. Seperti Mughits -seorang sahabat Nabi Saw.-kita selalu menguntit kemana pun Barirah melangkah. Mata kita mengawasi, hati kita mencari-cari dan telinga kita merasa indah setiap kali mendengar namanya. Perasaan itu begitu kuat bersemayan di dada. Bukan karena kita menenggelamkan diri dalam lautan perasaan, tetapi seperti kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengutip dari Al-Mada'iny, "Andaikan orang yang jatuh cinta boleh memilih, tentu aku tidak akan memilih jatuh cinta."

Perasaan ini kadang mengganggu kita, sehingga tak sanggup berpikir jernih lagi. Kadang membuat kita banyak berharap, sehingga mengabaikan setiap kali ada yang mau serius. Kita sibuk menanti -kadang sampai membuat badan kita kurus kering- sampai batas waktu yang kita sendiri tak berani menentukan. Kita merasa yakin bahwa dia jodoh kita, atau merasa bahwa jodoh kita harus dia, tetapi tak ada langkah-langkah pasti yang kita lakukan. Akibatnya, diri kita tersiksa oleh angan-angan.

Persoalannya, apakah yang mesti kita perbuat ketika rasa sayang itu ada? Inilah yang insya-Allah kita perbincangkan lebih mendalam pada makalah Masih Ada Tempat untuk Cinta. Selebihnya, kita cukupkan dulu pembicaraan itu sampai di sini.

Tuhan, Jangan Biarkan Aku Sendiri

Di atas semua itu, Allah bukakan pintu-pintu-Nya untuk kita. Ketuklah pertolongan-Nya dengan do'a. Di saat engkau merasa tak sanggup menanggung kesendirian, serulah Tuhanmu dengan penuh kesungguhan, "Tuhanku, jangan biarkan aku sendirian. Dan Engkau adalah sebaik-baik Warits." (QS. Al-Abiya': 89).

Rabbi, laa tadzarni fardan wa Anta khairul waritsin.

Ini sesungguhnya adalah do'a yang dipanjatkan oleh Nabi Zakariya untuk memohon keturunan kepada Allah Ta'ala. Ia memohon kepada Allah untuk menghapus kesendiriannya karena tak ada putra yang bisa menyejukkan mata.

Sebagaimana Nabi Zakariya, rasa sepi itu kita adukkan kepada Allah 'Azza wa Jalla semoga Ia hadirkan bagi kita seorang pendamping yang menenteramkan jiwa dan membahagiakan hati. Kita memohon kepada-Nya pendamping yang baik dari sisi-Nya. Kita memasrahkan kepada-Nya apa yang terbaik untuk kita.

Kapan do'a itu kita panjatkan? Kapan saja kita merasa gelisah oleh rasa sepi yang mencekam. Panjatkan do'a itu di saat kita merasa amat membutuhkan hadirnya seorang pendamping; saat hati kita dicekam oleh kesedihan karena tidak adanya teman sejati atau ketika jiwa dipenuhi kerinduan untuk menimang buah hati yang lucu. Panjatkan pula do'a saat hati merasa dekat dengan-Nya; saat dalam perjalan ketika Allahjadikan do'a mustajabah; dan saat-saat mustajabah lainnya.

Tuesday, May 17, 2005

A Huge Decision

Menikah memang bukan perkara mudah. Karena dia adalah awal dari sebuah perjalanan panjang. Dan dia juga merupakan gerbang menuju dimensi yang sama sekali baru bagi seorang manusia.

Walaupun begitu Allah sebenarnya telah mempersiapkan begitu banyak pintu kemudahan untuk perkara ini. Mengawali segala sesuatunya dengan awal yang baik dan di ridhai oleh Allah adalah salah satu syarat dibukakannya pintu kemudahan itu. Dimulai dengan niat yang ikhlas dan orientasi yang benar. Karena keikhlasan hati dan tujuan yang benar adalah kunci kebahagiaan hidup berumah tangga.

Ikhlaskan niat, bahwa pernikahan adalah salah satu manifestasi keta'atan kita kepada Allah. Dan oleh karena itu, pernikahan yang akan diwujudkan adalah pernikahan di jalan Allah, pernikahan atas dasar komitmen terhadap da'wah, dan pernikahannya para pejuang. Bukan sekedar menikmati romantisme hidup yang dibingkai oleh cinta yang semu.

Luruskan orientasi bahwa Allah akan memberikan yang terbaik bagi kita jika kita terus membujuk-Nya dengan ikhtiar dan do'a - do'a yang kita panjatkan. Luruskan orientasi kita bahwa jika kita berusaha menyempurnakan keimanan kita maka Allah akan mempertemukan kita dengan orang yang kualitas keimanannya pun sebanding dengan kita. Bahkan sebagai tambahannya, Allah sertakan pula ketenangan hati, kelapangan serta kemantapan dalam menerima pemberian terbaik dari Nya.

Syarat lain menuju terbukanya pintu kemudahan dalam pernikahan adalah tawakkal. jalani saja segala sesuatunya seperti yang Allah minta. Nabi mUsa pun tidak pernah bertanya ketika beliau diminta memukulkan tongkatnya ke laut merah. Sampai kemudian Allah menurunkan rahmat dan pertolongan-Nya.

Bagi yang belum menikah, jalani saja ikhtiar kita dalam mempersiapkan diri untuk menerima amanah besar itu. Biar Allah yang tentukan kapan saat yang tepat untuk kita menggenapkan separuh dien dan siapa orang yang nantinya akan kita jadikan imam dalam hal keta'atan kepada Allah, partner dalam da'wah menegakan kalimatullah serta sahabat untuk berbagi dan memperoleh ketenangan hati.

Bagi yang sudah / akan menikah dalam waktu dekat, jalani saja peran baru kita sebagai seorang istri dan seorang ibu seperti yang Allah mau. Biar Allah yang mengumpulkan kita dengan semua orang yang kita cintai dalam sebuah rumah yang telah kita bangun bersama pasangan kita di Jannah-Nya.

Wallahua'alam bish shawab

Insya Allah tidak bermaksud menggurui. Tulisan ini saya ambil dari berbagai sumber. Semoga bisa membantu memberikan pencerahan bagi semua yang sedang dalam proses mengambil keputusan besar itu.

Ujian Kesabaran

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar. [ Ali Imran :142]

Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [An - Nahl:96]


Tidak ada satupun orang di dunia ini yang tidak pernah merasakan masa – masa sendu dalam hidupnya. Masa – masa ketika Allah menguji kesabarannya dengan kesempitan, kesedihan dan kesusahan, terlepas dari seperti apapun bentuknya.

Nikmati, nikmati saja semua sedih dan perih luka yang kita rasakan. Karena dibalik itu ada kecintaan yang tiada tara dari Dzat yang Maha Kuasa. Syukuri, syukuri saja semua kesempitan dan kesusahan yang harus kita lalui, karena itu adalah pemberian terbaik dari Allah bagi orang – orang yang beriman. Biarkan Allah yang sembuhkan luka itu. Biarkan Allah yang bukakan jalan keluar, dan limpahkan kemudahan dalam bentuk yang lain sebagai ganti dari semua ini.

Menangis, menangislah. Karena itu sangat manusiawi. Menangis lah karena kita memang begitu lemah di hadapan- Nya. Menangis lah karena kita sama sekali tidak berdaya tanpa kekuatan dari – Nya. Menangislah sebagai bentuk ketundukan kita atas semua yang telah ditentukan Allah untuk kita. Nikmati saja belaian Allah dalam setiap tetes air mata yang terjatuh karena ketawakkalan kita kepada-Nya. Bayangkan saja senyuman di wajah mulia Rasullullah karena keistiqomahan kita meniti jalan kesabarannya.

Tegakakan kepala dan tampilkan keoptimisan. Gambaran dari sebuah keyakinan bahwa Allah tidak akan membebani seseorang diluar kemampuannya. Dan bahwa dalam setiap kesulitan ada kemudahan. Jangan pernah merasa kecil selama kita berpegang pada simpul Allah yang tidak akan pernah putus.

Setelah semua itu kita lalui, maka tersenyum lah. Tersenyumlah karena kemenangan kita melawan kelemahan diri. Tersenyumlah menyongsong janji Allah bagi orang – orang yang bersabar. Dan tersenyumlah karena balasan yang jauh lebih baik yang telah Allah anugrahkan sebagai ganti semua kesempitan, kesedihan dan kesusahan yang telah kita lalui dalam bingkai kecintaan kepada-Nya.


For a very special friend of mine : jazakillah khairan katsira, jazakillah khairan jaza. Biarlah Allah yang membalas senyuman penuh makna peredam duka.

Thursday, May 12, 2005

bosan

Ibu saya memiliki satu kebiasaan yang seringkali membuat beliau berbeda pendapat dengan kami, anak – anaknya, yaitu kebiasaan beliau berada di luar rumah. Entah itu sekedar mengobrol dengan ibu – ibu di warung sampai berjam – jam, atau main ke rumah saudara – saudara, atau berkunjung ke rumah teman – temannya. Dan aneh nya, nenek saya, walaupun tidak separah ibu saya, juga memiliki kebiasaan yang hampir sama. Yaitu melakukan road show setiap minggu dari satu arisan ke arisan berikutnya. Mulai dari arisan keluarga, arisan RT, arisan kelurahan, dan sejenisnya. Dan alasan mereka sama, karena bosan berada di rumah.

Melihat kondisi ini membuat saya tertarik untuk mengamati fenomena kebosanan yang rentan sekali dialami oleh para ibu, terutama ibu – ibu yang berprofesi sebagai “full time mom”. Mereka relatif mudah dihinggapi rasa jenuh dan bosan terutama karena mereka seringkali terjebak dalam rutinitas aktivitas domestik. Mulai dari bangun pagi, menyiapkan sarapan, menyiapkan perlengkapan anak – anak yang mau berangkat sekolah atau suami yang mau berangkat bekerja, kemudian menjelang siang, membereskan rumah, pergi ke pasar, menyiapkan makan siang, mencuci, menyetrika, dan menjelang malam menyiapkan makan malam, tidur dan bangun keesokan paginya untuk kembali menjalani rutinitas yang hampir sama. Dan untuk “melarikan diri” dari jebakan rutinitas ini memang biasanya para ibu memilih untuk keluar rumah, terlepas dari apakah aktivitas di luar rumah itu bermanfaat atau tidak, yang penting mereka menemukan suasana baru.

Padahal sebenarnya ada sebuah aktivitas yang dapat dilakukan oleh para ibu baik di luar rumah maupun di dalam rumah, dan aktivitas ini akan mendatangkan pendapatan yang luar biasa.

Berda’wah dengan bayaran Surga dari Allah …..

tiDaK SeKedaR KaTA

"Baiklah ikhwah fillah, demikian kita putuskan bahwa kita akan mulai menginisiasi gagasan ini. Walaupun tentu saja ada beberapa hal yang menjadi consideran kita yang perlu kita tinjau kembali untuk mengelaborasi gagasan ini di kemudian hari."

..........................................

Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya saya memahami kalimat - kalimat di atas. Kenapa sebuah pesan yang sebenarnya sederhana, menjadi demikian kompleks akibat pemilihan kata dan kemasan bahasa yang begitu sulit ? Setidaknya sulit untuk saya, karena memang tidak cukup terbiasa dengan beberapa kata di atas.

Teringat Rasulullah yang sangat memperhatikan masalah bahasa karena kata - kata adalah senjata nya seorang da'i. Apapun muatan yang ingin disampaikan oleh seorang juru da'wah, alat utama nya adalah kata - kata. Bagaimanapun seorang da'i berusaha menggambarkan Islam kepada objek da'wah nya, dia tidak akan pernah mampu melepaskan diri dari sebuah alat yang bernama "bahasa". Dan ini tentu saja sudah jauh lebih dulu dipraktekan oleh Qudwah kita yang mulia, Rasulullah SAW. Salah satu contoh adalah ketika beliau berhadapan dengan Mu'adz bin Jabal dan salah seorang dari suku arab badui. Gaya berbicara, bahasa dan pemilihan kata yang Rasulullah gunakan ketika beliau berbicara dengan Mu'adz bin jabal berbeda dengan ketika beliau berbicara dengan seorang arab badui.

Pemilihan bahasa yang tidak tepat bukan saja dapat mengurangi pesan yang ingin disampaikan tapi juga dapat menjadi bumerang bagi da'wah itu sendiri. Berbicara dengan seseorang yang terpelajar dan memiliki wawasan keilmuan yang luas memang akan sangat berbeda dengan berbicara kepada kalangan masyarakat bawah. Sayangnya terkadang seorang da'i tidak pandai menempatkan diri dalam konteks pemilihan bahasa ini. Ini mudah sekali terbaca dari kegagapan para aktivis yang terbiasa berda'wah di lingkungan kampus yang kemudian mereka di tuntut untuk terjun ke masyarakat luas. Bahasa yang digunakan para da'i jebolan kampus ini terkadang justru menciptakan jarak tersendiri antara dirinya dengan objek da'wah nya di masyarakat luas. Karena memang masyarakat kita didominasi oleh orang - orang yang tidak "well educated", tidak memiliki latar belakang pendididikan yang tinggi. Sehingga mereka lebih memahami pesan - pesan yang disampaikan dengan bahasa yang sederhana.

Monday, May 02, 2005

-- klasik --

Pepatah mengatakan bahwa keledai saja tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Lalu mengapa manusia seringkali membuat kesalahan yang sama ? Kesalahan yang sama yang pernah dilakukan beberapa waktu sebelumnya. Atau kesalahan yang sama yang pernah dilakukan oleh generasi sebelumnya.

Hari ini kita mengenal sebuah definisi “klasik” untuk sebuah masalah Begitu seringnya sebuah kesalahan atau suatu permasalahan yang sama dialami oleh orang – orang yang bergerak di sebuah wilayah yang sama pula. Dalam konteks da’wah pun kita mengenal istilah “masalah klasik” ini. Masalah yang rasanya selalu hadir dimanapun fase da’wah ini berada. Masalah yang sama yang selalu dialami oleh orang – orang yang bergerak di medan da’wah baik hari ini, kemarin, bahkan hari – hari yang akan datang jika saja orang – orang ini tidak segera menemukan solusinya.

Apakah kita terlalu angkuh untuk menoleh kebelakang dan mengambil pelajaran ? Ataukah mungkin mata hati kita dan juga pemahaman kita terlalu sempit untuk mengambil pelajaran dari orang – orang terdahulu yang sudah Allah pampangkan di dalam kitab suci-Nya? Mungkin juga sebenarnya penyebab hal ini sangat sederhana. Tidak adanya komunikasi atau interaksi baik dengan diri kita sendiri maupun dengan generasi terdahulu sehingga kita bisa mengambil pelajaran dari nya.

Jarang sekali kita berkomunikasi dengan diri kita, berkontemplasi, menghisab diri dan meminta fatwa pada hati kita sendiri. Sehingga, baik disadari maupun tidak, kita sering kali mengulangi kesalahan – kesalahan yang pernah kita lakukan dan kita terjebak pada masalah klasik. Padahal jika komunikasi itu terpelihara, maka hati kita pasti akan mencegah kita dari terperosok ke dalam lubang yang sama melalui fatwanya. Kontemplasi akan menuntun pikiran kita untuk menghindari kesalahan yang sama. Dan hisab diri akan membuat keimanan kita menuntun kita untuk selalu berbuat lebih baik hari ini dibandingkan dengan kemarin.

Kita juga kurang memelihara komunikasi kita dengan generasi terdahulu. Memprioritaskan energi dan pikiran kita untuk mempelajari perjalanan panjang yang telah dilalui oleh Para Nabi dan Salafus shalih. Dan meluangkan waktu kita untuk bertanya, baik secara langsung maupun tidak, kepada orang – orang yang sudah terlebih dahulu mengayunkan langkah nya di jalan ini.

Kalau saja ini semua dapat dilaksanakan dengan optimal, tentulah langkah – langkah kaki kita akan mengayun lebih cepat di atas jalan da’wah dan tidak melulu disibukan dengan usaha untuk mengeluarkan diri dari lubang yang sama yang pernah membuat orang – orang sebelum kita terperosok.

Wallahua’lam bish shawab