Daisypath Anniversary tickers

Monday, January 23, 2006

harapan yang hilang

Setiap hal yang kita putuskan untuk jalani, pasti ada pengorbanan yang harus dilakukan untuk menjalaninya. Begitu juga dengan keputusan untuk menikah, pasti ada yang dikorbankan. Dan sebuah pertanyaan dari seorang teman membuat saya termenung cukup lama. "Apakah teh upi termasuk orang yang mengorbankan harapan serta keinginan atau peluang setelah menikah ?"
Sesuatu yang kita lakukan dapat dikategorikan sebagai pengorbanan atau tidak menurut saya tergantung dari kacamata mana kita melihatnya. Seorang ibu yang menjual anaknya untuk mengeluarkan dirinya dari kesulitan ekonomi, apakah itu sebuah pengorbanan ? Bagaimana jika dibandingkan dengan kisah seorang ibu yang membiarkan anaknya dimasukan ke dalam tungku berisi air mendidih demi untuk mempertahankan aqidah nya, apakah itu juga sebuah pengorbanan ? Menurut saya tergantung kepada bagaimana pemahaman kita memandang permasalahan itu.
Menikah memang bukan perkara mudah, ada tugas baru yang kini di emban, ada tanggung jawab baru yang kini harus dipikirkan. Ada hal - hal yang memang tidak lagi bisa dengan bebas kita lakukan setelah menikah. Sekarang mungkin saya tidak lagi bisa dengan bebas membiarkan diri saya pulang lebih malam dari biasanya karena tugas2 di kantor yang harus di selesaikan. Karena izin suami sekarang menjadi prioritas yang harus didahulukan. Tidak lagi bisa dengan bebas berpikir untuk pindah ke kota manapun selama di sana memang ada peluang dimana saya bisa bekerja, mengerjakan sesuatu yang saya senangi. Karena sekarang saya memilih untuk tinggal di kota manapun dimana di situ tinggal suami saya. Dan sekarang saya pun harus berpikir puluhan kali untuk melanjutkan rencana belajar ke luar negri.
Tapi apakah dengan melakukan itu semua berarti saya sudah mengorbankan harapan, keinginan, serta peluang - peluang yang ada di depan mata ? Rasanya tidak sama sekali. Semua itu adalah pilihan - pilihan yang saya ambil sendiri. Suami memang tidak pernah melarang atau membatasi saya untuk mengembangkan potensi diri saya sendiri baik dengan bekerja di dunia profesional maupun dengan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi pilihan - pilihan itu saya yang tentukan, dengan dukungan penuh dari beliau tentunya. Saya yang memilih untuk tidak menempatkan profesi di atas keluarga. Saya juga yang memilih untuk tidak pergi ke manapun baik untuk sekolah maupun untuk bekerja kecuali suami saya ikut mendampingi saya.
Dan itu semua bukan pengorbanan. Mungkin dilihat dari satu sisi memang ada hal - hal yang harus dilepaskan. Tapi bukan berarti saya sepenuhnya melepaskan atau mengorbankan harapan, keinginan, serta peluang. Semua pilihan - pilihan itu saya ambil karena saya punya harapan - harapan baru setelah menikah. Saya punya keinginan - keinginan lain setelah menikah. Dan saya juga mulai mencari peluang - peluang baru setelah menikah. Dan untuk mewujudkan harapan dan keinginan yang baru serta untuk meraih peluang - peluang yang baru, saya harus melepaskan yang lama. Melepaskan genggamana saya kepada rumput - rumput yang ada di tanah karena tangan saya yang lain sedang meraih ranting pohon yang ada di atas.
Saya masih punya harapan untuk berkiprah dalam dunia profesional, tapi harapan saya sekarang adalah berkiprah di dunia profesional dengan dukungan 5 orang anak yang hafidz dan hafidzah. Saya masih punya keinginan untuk melanjutkan sekolah saya. Tapi sekarang keinginan saya adalah seorang suami yang dengan setia menemani saya bergadang semalaman untuk menyelesaikan tesis saya, keinginan menjadi mahasiswa pascasarjana sekaligus istri sholehah.
Intinya adalah memang ada hal - hal yang harus kita lepaskan setelah kita menikah. Tapi semua itu kita lepaskan untuk mendapatkan sesuatu yang nilainya jauh lebih besar. Ada harapan, keinginan, serta peluang yang harus dilepaskan. Tapi semua itu dilepaskan untuk mendapatkan harapan, keinginan, dan peluang yang lebih besar. Bukan berarti harapan, keinginan serta peluang itu mati dan hilang begitu saja.
Wallahu'alam bish shawab ...

Tuesday, January 03, 2006

ibu

Ibu, sebuah tema yang sebenarnya belum pernah mewarnai tulisan – tulisan saya selama ini. Saya bukan tipe anak yang bisa dengan mudah menceritakan segala macam tentang ibunya. Saya bukan tipe anak perempuan yang biasa bercerita, tidur dipangkuan ibunya atau sekedar bermanja dengan nya. Ada banyak hal yang melatarbelakangi ketidakdekatan saya dengan ibu saya. Yang jelas, karena hal ini sudah berlangsung sekian lama, saya tidak lagi merasa bahwa ini sesuatu yang ganjal. Karena saya sudah terbiasa tidak dekat dengan ibu.

Kondisi nya ternyata menjadi berbeda sekali setelah saya menikah. Karena sekarang telah hadir seseorang yang dengan seksama memperhatikan pola hubungan saya dengan ibu saya. Seseorang yang merasa takjub melihat bagaimana seorang anak perempuan tidak dekat dengan ibunya. Walaupun saya dan ibu tidak tinggal satu kota, tapi ibu saya cukup sering pulang ke bandung, dan setiap kali beliau pulang ke bandung, beliau tinggal cukup lama di bandung. Jadi perbedaan jarak yang ada antara saya dan ibu saya sebenarnya tidak bisa dijadikan alasan utama ketidakdekatan kami. Alhamdulillah sekarang ada yang mengingatkan. Setiap kali saya lalai dalam berbakti kepada ibu, ada yang mengingatkan. Dan seseorang itu pun sekarang justru menjadi jembatan penghubung antara saya dengan ibu saya. Beliau yang sedikit demi sedikit merubah paadigma saya tentang ibu saya, dan beliau pula yang sedikit demi sedikit merekatkan kembali kerenggangan antara ibu dengan anak perempuannya. Segala puji bagi Allah atas karunia ini.

Selain itu, menikah ternyata membuat saya lebih banyak dan lebih serius lagi berpikir tentang peran dan pengorbanan seorang ibu. Mungkin karena sekarang saya dibayang – bayangi kemungkinan bahwa bisa jadi dalam waktu dekat Allah pun membebankan tugas sebagai seorang ibu kepada saya. Saya jadi lebih memahami bahwa memang tidak semua ibu terbiasa membelai lembut kepala anaknya, tidak semua ibu terbiasa mengajak anaknya berbicara dari hati ke hati. Tidak semua ibu terbiasa mengucapkan kata – kata sayang dan mesra untuk anaknya. Tidak semua ibu terbiasa mengekspresikan rasa sayang dan kekhwatirannya. Tapi dibalik semua itu, seorang ibu secara fitrrah pastilah menyimpan sejuta cinta untuk anaknya.

Alasan apapun yang mendasari ketidakdekatan seorang anak dengan ibunya, tetap tidak bisa menghapuskan semua pengorbanan yang telah dilakukan ibu untuk anaknya. Tidak bisa menafikan bahwa surga seorang anak tetap terletak dibawah telapak kaki ibunya. Astaghfirullah … semoga Allah membukakan pintu ampunan untuk kelalaian saya terhadap ibu selama ini. Dan semoga Allah memberkahi ibu dan juga ayah saya, menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi saya.

Specially for starnoegh : you are the star of my life