Daisypath Anniversary tickers

Tuesday, December 19, 2006

foto di friendster


Setelah dipikir – pikir, diliat – liat dan dianalisa, ternyata masang foto dengan pose berpasangan suami istri di friendster itu kadang norak juga yah. Misalnya kalo foto itu angle nya ga pas dan terkesan aga “maksa” yang penting tetep keliatan mesra. Ato misalnya foto berdua dengan latar belakang suatu tempat yang dari foto itu ga bisa keliatan, yg difoto orangnya apa belakangnya. Ato misalnya juga fotonya mengekspos kemesraan yang berlebihan (padahal mah biasa aja atuh). Ato (ini yang paling parah deh kayanya) foto pas lagi kawinan. Dengan baju pengantin yang gemerlap berkilauan, make up yg tebal dan ekpresi seneng campur cape (aduuuh pliss dooong..).

Sebenernya saya sendiri termasuk salah satu “pemajang foto pasangan” di friendster. Kalau ada yg pernah berkunjung ke sana, anda bisa lihat bahwa di profile saya, foto utama nya adalah foto suami tercinta yang terletak di sebelah kiri ini (liat ke kiri atas, nah.. foto yang itu tuh .. :-D). Tapi ada alasannya kok, alasannya adalah sebagai berikut :
1. Alasan I : Foto itu ga berdua
2. Alasan II : Angle nya lucu kaan, diliat dari samping. (maksa yah :-D)
3. Alasan III : Mungkin dan memang ada temen – temen lama yang ga dateng pas nikahan. Trus mereka begitu penasarannya, suami upi yang mana siiihh… jadi dipasang deh fotonya, biar pada tau gitu .. he..he.. (maksa juga yah :-D)

Yah emang gimana pun juga, tetep aja sih, hak tiap pemilik friendster itu sendiri untuk memajang foto apapun yang mereka suka. Mo maksa kek, mo ngga, ga boleh protes. Kalo ga suka, bikin aja friendster sendiri (he..he..).

Sunday, December 17, 2006

best friends


Banyak orang yang bilang bahwa porsi atau peranan sosial seorang perempuan ketika dia sudah menikah akan berkurang. Saya setuju dengan pendapat itu, karena saya pun mengalaminya ketika sudah menikah. Tapi saya tidak setuju jika berkurangnnya peranan sosial seorang perempuan identik dengan berkurangnya perhatian terhadap teman – teman di sekitarnya.

Dulu, sebelum saya menikah, dan ketika teman – teman saya satu per satu menemukan pasangan hidupnya, saya merasakan itu. Bahwa perhatian mereka sedikit berkurang untuk saya. Persis seperti yang pernah saya tulis disini. Dan sampai sekarang pun saya melihat banyak sekali teman – teman yang ketika sudah menikah, hampir tidak punya kesibukan lain selain mengurus suami dan anak (kalau sudah punya). “Suami baru pulang jd ga bisa pergi”, “Mau nganter suami”, “Suami ga bisa nganter, jadi kayanya ga bisa dateng”, dan berbagai macam pernyataan serupa. Kondisi ini yang (kalau saya perhatikan) pada akhirnya menimbulkan jarak antar sang perempuan yang sudah bersuami dengan teman – temannya dekatnya. Karena dia begitu disibukkan dengan keluarganya, bahkan untuk urusan “curhat” pun sudah ada penggantinya.

Perhatian yang terbagi atau teralihkan pada keluarga yang baru saja dibentuk tentu tidak salah. Tapi kalau sampai membuat seorang perempuan “terisolasi” dari lingkungan sosial, bahkan membuat dia “kehilangan” teman – teman terdekatnya, rasanya ini juga tidak benar. Menurut saya, (berdasarkan apa yang saya alami), suami dan teman atau sahabat memiliki porsi dan peranan yang berbeda. Kewajiban seorang perempuan untuk melayani, ta’at dan mencurahkan perhatiannya pada keluarganya bukan berarti mengurangi tanggung jawab sosial dia terhadap lingkungan sekitarnya, termasuk teman – temannnya.

Selain itu, tetap berhubungan baik dengan teman – teman atau tetap memiliki sahabat dekat sebenarnya memberikan keuntungan tersendiri bagi seorang perempuan yang sudah menikah. Keshalihan, pengertian dan kesabaran seorang suami tentulah membuat sang istri merasa sangat nyaman untuk mengkonsultasikan atau mendiskusikan semua yang ada di dalam kepala dan hatinya kepada suaminya. Tapi terkadang tetap saja, seorang istri juga membutuhkan “second opinion” dari sahabatnya. Apalagi jika sahabat tersebut sudah mengenal dia jauh lebih lama dibandingkan dengan suaminya, tentulah ada sisi – sisi tertentu dalam diri sang istri yang “belum” dipahami oleh pasangan hidupnya.

Tidak hanya ‘second opinion” yang bisa didapatkan oleh seorang perempuan dari sahabatnya, tapi juga “ a girl’s view”. Pendapat atau pandangan dari sudut pandang perempuan mengenai suatu masalah. Cara berpikir yang berbeda antara laki – laki dan perempuan menghasilkan cara penilaian yang berbeda juga dalam menilai atau memandang suatu masalah. Perasaan sayang dan cinta suami tentu membuat dia memberikan perhatian yang lebih terhadap permasalahan yang dihadapi oleh istrinya. Tapi terkadang istri juga membutuhkan pendapat dari sudut pandang perempuan mengenai masalah yang dihadapinya.

Dan keuntungan lain yang tidak kalah pentingnya adalah, selalu ada “pasangan pengganti”. Ketika seorang suami tenggelam dalam dunianya, ketika dia begitu disibukkan oleh urusan pekerjaan atau aktivitas lainnya, seorang istri selelu bisa “berpaling” kepada sahabat perempuannya. Selalu ada pasangan pengganti yang mencegahnya dari diliputi perasaan kesepian dan kekurangan perhatian. Kalau dia hanya mengandalkan suaminya sebagai sumber perhatian juga kasih sayang dan teman yang mengisi kekosongan, tentulah dia akan merasa sangat kesepian ketika suaminya sangat sibuk di luar rumah. Lainlah nya kalau sang istri dapat menyibukan diri juga bersama sahabat – sahabatnya (yang perempuan tentu saja).

Above all that, tetap harus digarisbawahi bahwa selalu ada porsi dan juga bentuk ekspresi yang berbeda dalam hal perhatian, kasih sayang, dan juga cinta terhadap seorang suami dan terhadap seorang sahabat.

Friday, December 15, 2006

saat yang tepat


Allah selalu memberi kita segala sesuatu yang kita inginkan pada saat yang tepat. Subhanallah .. itu yang ingin terus dipeliharan dalam hati ini, walaupun sulit.

Dulu ketika di SMA rasanya susah payah saya memohon kemudahan agar saya bisa mendapat nilai – nilai yang bagus dalam pelajaran, tapi tetap saja, angka – angka di raport yah segitu – segitu juga. Sampai akhirnya kemudahan itu Allah kasih tepat pada saat UMPTN. Saya berhasil mengungguli teman – teman lain yang sebelumnya cukup cemerlang di kelas dan akhirnya saya diterima di salah satu institut terbaik di negri ini. Institut yang menjadi jalan pembuka hidayah untuk saya.

Setelah duduk di bangku kuliah, menjalani kuliah selama hampir 5 tahun, dengan susah payah juga saya berdo’a agar Allah memberi kemudahan dalam tugas akhir saya. Lama sekali rasanya sampai akhirnya Allah mengabulkan do’a itu. Rasanya sudah tidak terhitung berapa banyak air mata yang keluar dan kesulitan yang harus dijalani sampai akhirnya Allah bukakan pintu kemudahan. Tepat pada saat semua usaha rasanya sudah di coba, dan sudah tidak ada tempat bersandar lagi selain kepada Allah, Allah memberikan kemudahan untuk kelulusan saya. Walaupun nilai yang diberikan sang dosen tidak sebaik yang saya harapkan, tapi begitu banyak kemudahan yang Allah berikan mulai dari mengerjakan buku skripsi, seminar sampai akhirnya sidang, subhanallah. Dan tidak hanya itu saja, saya lulus tepat ketika ada lowongan pekerjaan dan saya diterima bekerja. Jadi tidak sempat menyandang status “pengangguran”, alhamdulillah.

Kuliah sudah selesai, diterima bekerja juga sudah, alhamdulillah, mulailah pikiran ini terkonsentrasi pada keinginan berikutnya. Menikah (standar sih memang). Sebenarnya keinginan untuk menikah sudah ada cukup lama. semenjak sebelum lulus. Tapi karena waktu itu masih terfokus pada tugas akhir, jadi belum terlalu benar – benar mempersiapkan diri untuk menikah. Baru ketika urusan kuliah sudah mereda, kemudian satu per satu teman – teman mulai melepas masa lajangnya, kemudian usia yang juga terus bertambah, keinginan untuk menikah itu semakin serius di persiapkan. Walaupun begitu, jodoh yang telah dipilihkan oleh Allah tidak serta merta datang setelah lantunan do’a yang pertama. Butuh puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan lantunan do’a sampai akhirnya sang labuhan hati itu datang. Tapi subhanallah, dia datang pada saat yang tepat sekali. Tepat ketika saya membutuhkan seseorang yang akan membuat saya tersenyum di tengah kepenatan. Tepat ketika begitu banyak masalah yang harus dihadapi dan saya membutuhkan seseorang yang akan menggenggam tangan saya dalam menghadapi masalah – masalah itu. Tepat ketika begitu banyak kekecewaan akan harapan yang belum terwujud dan saya membutuhkan seseorang sebagai penghibur hati.

Dan saat ini, saya sedang terus mencoba memelihara keimanan saya, bahwa Allah pun sedang menunggu waktu yang tepat untuk menganugrahkan saya “hiburan” berikutnya, yaitu seorang buah hati. Banyak hal sudah kami usahakan, lantunan do’a pun rasanya tidak pernah terlewatkan. Jangan tanya berapa banyak air mata yang sudah diteteskan, semoga semua itu tidak akan mengurangi kesabaran kami. Allah pasti akan menganugrahkannya pada saat yang tepat. Hanya tinggal menunggu sebentar lagi, karena bersabar itu tidak akan pernah lama.

Untuk yang selalu menghadirkan senyuman di kala hati berkelana dalam duka … Thank you for always being by my side ..

Friday, December 01, 2006

Insensitif by Accident

Pasti pernah denger married by accident kan ? Nah yang ini beda lagi, yang ini ketidaksengajaan yang membuat kita menjadi orang yang tidak sensitif. Setelah dipelajari dan diteliti, kayanya hampir semua orang pernah menjadi orang yang tidak sensitif/peka. Dan ada 3 tipe kenapa orang bisa menjadi insensitif atau tidak peka terhadap kondisi orang lain disekitarnya.

Tipe 1

Orang yang memang benar – benar tidak bermaksud untuk menjadi insensitif, tapi secara tidak sengaja menyinggung perasaan orang lain. Contoh, ini contoh yang paling sering saya temui. Seorang perempuan (misal si A) menceritakan tentang kondisi atau kejadian – kejadian yang dia alami bersama suaminya. Dan dia menceritakannya di hadapan teman perempuannya yang lain (misal si B) yang belum juga menikah walaupun usia sudah sangat cukup. Si A sebenarnya sama sekali tidak bermaksud untuk insensitif atau tidak peka terhadap kondisi si B yang sedang “menanti”, dengan menceritakan cerita – cerita tentang suaminya. Tapi itu hal hampir tidak bisa dihindari, karena sehari – hari si A memang hidup bersama suaminya,dan kejadian apapun yang dia alami hampir pasti berhubungan dengan suaminya. Oleh karena itu, walaupun si A sebenarnya hanya sekedar menceritakan kejadian yang dia alami tanpa bermaksud menyinggung soal pasangan hidup, tapi tanpa sengaja dia tetap menyebut – nyebut suaminya dihadapan si B.

Tipe 2

Orang yang sebenarnya tidak bermaksud untuk menjadi insensitif, tapi kondisi atau situasi yang sedang dialaminya terkadang membuat dia menjadi tidak peka terhadap kondisi orang lain di sekitarnya. Contoh, ini contoh yang paling sering saya alami. Seorang perempuan (misal si A) dia baru saja dinyatakan positif hamil oleh dokter. Dan sangking gembiranya dia dengan kondisinya, seluruh pikirannya terkonsentrasi pada hal itu. Sehingga apa yang dibicarakannya sehari – hari pun tidak jauh dari topik itu, karena hanya itu yang ada dalam pikirannya. Dan sangking gembiranya pula dia terus menerus menceritakan seputar kehamilannya pada teman nya (misal si B). Padahal si B ini adalah seorang istri yang sudah cukup lama menikah tapi belum juga dikaruniai seorang anak. Si A mungkin tidak bermaksud untuk insensitif dengan terus menceritakan kehamilannya pada si B, tapi karena hampir seluruh pikirannya terkonsentrasi pada hal itu, dan semua lintasan dalam kepalanya selalu tentang hal itu, maka yang keluar dan menjadi bahan perbincangannya dengan si B yah hanya seputar itu. Dan dia lupa bahwa somehow, semua yang dia ceritakan seputar kehamilannya telah sedikit menyinggung perasaan si B.

Tipe 3
Orang yang memang benar – benar tidak sensitif, dan tidak peka terhadap kondisi orang lain. Yang dia pikirkan hanya dirinya sendiri, apa yang dia alami, apa yang dia rasakan tanpa pernah memikirkan orang lain yang ada di sekitarnya. Ini yang ga bener. Udah ga usah dibahas deh.