Daisypath Anniversary tickers

Monday, July 30, 2007

stay at home, mom ...

Topik yang sangat menarik diperbincangkan di acara Oprah yang ditayangkan di metro TV hari Sabtu 28 Juli 07 yang lalu. Topik nya adalah perbandingan antara ‘stay at home mom’ dengan ‘a working mother’. Walaupun belum ada anak yang manggil saya ‘mom’ dan belum juga berstatus sebagai ‘a working mother’, tapi perbincangan tersebut memberikan banyak sekali pencerahan.

Dalam acara tersebut dijelaskan bahwa masyarakat Amerika (dan masyarakat Indonesia juga menurut saya) seringkali terjebak ke dalam salah satu dari dua sudut pandang yang ekstrim.

Sudut pandang yang pertama memandang bahwa ‘a stay at home mom’, atau kita biasa menyebutnya ibu rumah tangga, adalah sebuah posisi atau peranan yang membuat wanita terjebak di dalam wilayah domestik rumah tangga dan keluarganya. Wanita dibuat terpaku atau tersita waktu, energi dan perhatiannya untuk anak – anak serta suaminya. Hal ini yang membuat wanita seringkali kehilangan jati dirinya. Dia menghabiskan hari – hari di rumah, melakukan rutinitas pekerjaan rumah sebagai seorang ibu dan seorang istri, sehingga lupa memperhatikan apa yang diinginkannya. Lupa memperhatikan kebutuhan dirinya sendiri. Hal ini berlangsung sekian lama, sampai suatu saat dimana anak – anak sudah cukup dewasa, mampu menangani dirinya sendiri dan terlepas dari ketergantungan terhadap peranan seorang ibu. Pada saat seperti itu lah biasanya seorang ‘stay at home mom’ mulai menyadari bahwa ada yang hilang dari dirinya sendiri. Dan dia juga mulai menyesali waktu – waktu yang ‘hilang’ untuk dirinya sendiri.

Sudut pandang ekstrim yang kedua memandang bahwa ‘a working mother’ adalah tipe wanita yang mentelantarkan anak – anak nya. Mereka lebih memprioritaskan ambisi serta keinginannya sendiri, mengabaikan tugas sebagai istri dan juga sebagai ibu. Egois, itu kata yang tepat untuk merangkumnya. Anak – anak yang berasal dari keluarga dengan ibu bekerja adalah anak – anak broken home, kurang perhatian, dan biasanya ketika remaja mereka berubah menjadi anak – anak yang liar dan tidak terarah.

Dua – dua nya ekstrim memang. Seorang ibu yang memilih untuk stay at home tidak serta merta berubah menjadi sosok ibu ideal. Kita bisa lihat banyak contoh anak – anak yang kehilangan arah juga berasal dari keluarga dimana ibu mereka adalah ibu rumah tangga yang menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Dan tidak benar juga jika dikatakan tipe wanita seperti ini adalah wanita yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk keluarga sehingga mereka kehilangan jati diri. Tidak tepat juga untuk menghakimi seorang ibu yang memilih untuk tetap bekerja sebagai ibu yang egois. Karena ada banyak alasan yang melandasi seorang wanita memilih untuk tetap bekerja setelah mereka punya anak. Dan kita juga bisa lihat banyak contoh anak – anak ’sukses’ yang berasal dari keluarga dimana sang ibu memiliki kesibukan di luar rumah.

Menurut seorang psikolog yang menjadi bintang tamu pada acara tersebut, kata kunci untuk menghindari kedua kondisi ekstrim tersebut di atas adalah prioritas dan adaptasi. Seorang wanita harus memiliki konsepsi yang menyeluruh tentang bagaimana menentukan prioritas dalam kehidupannya. Termasuk ketika dia sudah menjadi seorang istri dan juga seorang ibu. Seorang wanita yang memahami bahwa dalam kondisi apapun, prioritas yang utama adalah keluarga, pasti akan memilih yang terbaik untuk keluarganya. Terlepas dari apakah dia bekerja atau tidak.

Jika dia memilih untuk bekerja, maka dengan konsepsi mengenai prioritas tersebut pastilah dia memiliki alasan tertentu yang lebih tinggi daripada sekedar mengejar ambisi pribadi dalam kehidupan kariernya. Ketika kepentingan rumah tangganya dan kepentingan kantornya berbenturan, dia tahu pasti bagaimana harus memilih. Dan dia pun akan melakukan segenap upaya untuk memastikan bahwa anak – anak serta suaminya tidak harus menjadi korban dari aktivitasnya di luar rumah.

Jika dia memilih untuk berada di rumah bersama keluarganya. Maka pilihan itupun dijatuhkan dengan landasan konsepsi yang menyeluruh mengenai prioritas dalam kehidupannya. Pilihan itu diambil dengan pemahaman bahwa itu yang terbaik untuk keluarganya. Dengan konsepsi dan pemahaman tersebut, dia akan menjalani aktivitas dan tugasnya di rumah dengan penuh kecintaan. Tanpa terus menerus menghitung ‘pengorbanannya’ yang suatu saat akan berakumulasi pada penyesalan karena merasa dia telah menjadi ‘korban’ dari hak yang dituntut oleh anak – anak dan suaminya.

Selain kepahaman dalam menentukan prioritas, hal lain yang juga sangat penting dalam menghadapi kondisi tersebut adalah adaptasi. Proses adaptasi yang harus dijalani oleh seorang wanita dalam memasuki kehidupan baru nya. Baik sebagai ibu rumah tangga yang mengurus keluarga di rumah. Maupun sebagai ibu yang bekerja dengan anak – anak yang juga tetap harus diperhatikan di rumah.

Jika dia memilih untuk bekerja, maka ia akan beradaptasi dengan peran baru nya. Bahwa saat ini tidak hanya masalah pekerjaan yang harus dipikirkan, tetapi ada juga masalah anak yang jauh lebih penting. Melalui proses adaptasi, dia akan berusaha melakukan penyesuaian – penyesuaian baru, agar peranan sebagai wanita bekerja dan sebagai ibu dapat dilakoni dengan baik.

Jika dia memilih untuk berada di rumah, dia juga akan melakukan proses adaptasi. Peranannya di rumah bukanlah untuk memasung hak nya sebagai wanita yang ingin beraktualisasi, berekspresi dan juga bersosialisasi. Adaptasilah yang akan menghindarkan dirinya dari sikap dan perasaan terpenjara oleh dinding – dinding rumahnya sendiri. Dia akan beradaptasi untuk berubah menjadi sosok ibu dan istri terbaik bagi anak – anak dan suaminya, sambil pada saat yang bersamaan tetap memenuhi hak – hak nya sebagai seorang wanita.

Menurut saya, walaupun pemikiran di atas datang dari seorang wanita Amerika yang terkenal feminis dan menjunjung tinggi konsep kebebasan (walalupun seringkali kebablasan), tapi prioritas dan adaptasi adalah sebuah konsep yang memberikan pencerahan untuk menjalani peran seorang wanita sebagai individu yang memiliki hak dan keinginan, serta sebagai istri dan ibu yang memiliki kewajiban.

Sejak ribuan tahun yang lalu Islam sudah memberikan rambu – rambu nya. Agar wanita tidak terjebak pada kebebasan yang tanpa batas, dan juga tidak terjebak oleh ruang – ruang dalam rumahnya sendiri. Seorang muslimah, menurut saya, tidak akan pernah dapat sepenuhnya menjadi ’a stay at home mom’ jika hal tersebut didefinisikan dengan diam di rumah dan mengurusi keluarga. Karena sebelum menikah, seorang muslimah memiliki tanggung jawab terhadap ummat yang harus dia tunaikan dengan berada di luar rumah. Dan pernikahan tidak membuatnya terbebas dari kewajiban tersebut. Tetap saja ada saat – saat dimana dia harus keluar rumah untuk menunaikan kewajibannya terhadap ummat. Prioritas dan proses adaptasi lah yang akan membuatnya mampu melaksanakan kewajiban terhadap keluarga, kewajiban terhadap ummat dan juga hak – hak untuk dirinya sendiri, semua pada saat yang bersamaan.

Monday, July 09, 2007

mau nya ...

Allah tahu yang terbaik untuk kita ...
Segala sesuatu pasti datang pada saat yang tepat ...
Setiap orang sudah Allah tentukan rezeki nya masing - masing ...

Astaghfirullah... rasanya sudah jutaan kali kalimat - kalimat di atas saya coba tanamkan dalam kepala saya. Tapi tetap saja, ada masa - masa di mana rasanya semua ini terlalu berat.

Mau nya bersikap ikhlas dan lapang dada
Mau nya ga perlu uring - uringan setiap kali ada yang 'nyusul'
Mau nya ga perlu disibukan dengan false alarm
Mau nya berjalan natural aja dan ga perlu ditunggu - tunggu
Mau nya ...

hmmh.. andai semudah itu mewujudkan keinginan