Daisypath Anniversary tickers

Monday, December 17, 2007

liberal amount of patience

Such a good article. Good for me at least. I just want to share it with you.

--------

In today’s society, most areas of sexuality and human reproduction are openly discussed. And yet, in spite of the fact that one in six couples encounters difficulties in having a baby, the subject of infertility remains largely taboo. So why is this so?

The inability to conceive a child touches our deepest self. Women who are unable to conceive may feel inferior, guilty and have problems with their self-image. Men often feel that their virility and manhood is placed in doubt.

It is clear that, under such circumstances, most infertile couples prefer to keep silent. Nevertheless, communicating openly with friends and family can create a stronger sense of support in dealing with the psychological and emotional components of infertility.

Many couples who have experienced infertility treatment describe it as an “emotional roller coaster.” With each monthly cycle and course of treatment, hopes rise of finally getting pregnant. The two-week wait after the fertilized egg has been transferred to the womb can be extremely difficult. And if the results are negative, the emotional effects can be very difficult to handle.

Talking openly about your feelings is vital to coping with the emotions associated with infertility treatment, especially with your partner. If ever love and mutual understanding are called upon, it is in moments such as these.

It can also be helpful to talk to other couples who have gone through similar experiences and understand what you are feeling. You should ask your infertility specialist for the address of a patient group near you.

Finally, you can soften the emotional impact of infertility treatment by not expecting instant success. Most couples who undergo treatment do eventually have the baby they want so badly. But remember, the chances of becoming pregnant during any single course of treatment are usually 25-30%.

So, one of the essentials you should pack for your journey is a liberal amount of patience.

my marriage



Attending other people's wedding day always remind me of my own experience ..

We’ve been married for 2 years, 1 month and 1 day, but I’m still astonished when I think about how we first meet. We were married only 35 days after we met. We don’t even know each other before. I’ve never heard his name or see his face before, and so was he. Even on our wedding day, I could hardly remember what he look like. Lucky me, he was wearing a wedding suit.

I can still remember the anxiety, hesitancy, relief, excitement, and all the strange feelings that I felt for the first time. I can also still remember how it felt like when he touched my hand for the first time.

Alhamdulillah, even though we met and married in such a short noticed, I can’t even describe how much I love him and how much I feel loved.

There’s a magic in his eyes, cause it makes me miss him all the time.
There’s a magic in his smile, cause it makes me happy
There’s a magic in his touch, cause it makes me feel warm
There’s a magic in his whisper, cause it makes me calm

Thers’s no word that could describe my fellings for him.

God works in such a mysterious way. For those of you who are still waiting, hoping and praying for the day to come, just keep the faith. There’s beautiful gift for you waiting at the end of this road.

Thursday, December 13, 2007

suamiku dan ayahku

Ada satu sisi dari calon suami/istri yang harus diketahui sebelum kita menikah. Saya sendiri baru menyadari hal ini justru setelah saya menikah. Sisi tersebut adalah bagaimana kedekatan seorang anak laki – laki dengan ibunya (untuk calon suami) atau bagaimana kedekatan seorang anak perempuan dengan bapaknya (untuk calon istri).

Jika seorang anak perempuan sangat dekat dengan ibunya, itu bukan satu hal yang aneh. Atau jika seorang anak laki – laki sangat dekat dengan bapaknya, itu juga bukan satu hal yang aneh. Tapi jika anak laki – laki sangat dekat dengan ibunya, atau anak perempuan sangat dekat dengan ayahnya, walaupun bukan berarti ini suatu hal yang buruk, tapi hal ini dapat mempengaruhi kehidupan perkawinan anak – anak tersebut nantinya.

Anak laki – laki yang sangat dekat dengan ibunya, melihat ibunya sebagai sosok wanita yang boleh dibilang sempurna. Baik secara eksplisit maupun implisit, baik secara verbal maupun non verbal, dia mengagumi ibunya. Mengagumi kelembutannya, ketrampilannya mengurus rumah tangga, kesabarannya menghadapi anak – anak, pengorbanannya. Pendek kata, ibu nya adalah gambaran wanita yang ideal untuknya. Gambaran ini lah yang, baik secara sadar maupun tidak, dia jadikan barometer atau alat ukur dalam menilai baik/buruk, kelebihan/kekurangan dari istrinya kelak.

"Ibu kalau masak sayur lodeh, kuah nya ga terlalu kental"
"Mamah kalau pagi – pagi, udah sibuk beres – beres, masak trus cuci piring "

Seperti yang saya bilang tadi, baik secara sadar maupun tidak, anak laki – laki yang sangat dekat dengan ibunya, akan menjadikan ibunya sebagai panduan, atau referensi untuk menilai baik/buruknya seorang wanita, trampil atau tidak nya dia mengurus rumah tangga, atau hal – hal lain yang berkaitan dengan wanita. Oleh karena itu, secara sadar maupun tidak, dia juga membandingkan istrinya dengan ibunya.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada anak perempuan yang sangat dekat dengan ayahnya. Dia menjadikan ayahnya acuan dalam menilai kearifan, kebijaksanaan atau bahkan kemampuan menafkahi yang harus dimiliki seorang suami.

Saya selalu teringat nasihat bijak yang disampaikan oleh seorang akhwat,

Sampaikanlah pada suami mu, “wahai suamiku, maafkan aku jika belum bisa memasakkan makanan seenak ibumu, sebagaimana aku maafkan engkau jika belum bisa mencukupi kebutuhan rumah seperti yang selama ini ayahku sediakan untukku.”
Mengenal orang tua kita bertujuan agar kita lebih empati satu dengan yang lain, bukan agar kita saling memaksakan kondisi kita sebelumnya. Toh, rumah tangga ini milik kita…bukan milik mereka…

Mengapa orang selalu mengatakan “selamat menempuh hidup baru” bagi orang yang baru menikah, mungkin karena memang kehidupan setelah pernikahan adalah kehidupan yang benar – benar baru. Dengan kebiasaan baru, dengan orang yang baru kita kenal sisi – sisi kepribadiannya, dengan masakan yang rasanya “baru”, dengan jam bangun/jam tidur yang baru, atau hal – hal lainnya yang sangat berbeda dengan kondisi kehidupan kita sebelumnya.

Ibu tidaklah sama dengan istri, sebagaimana ayah tidak sama dengan suami. Bahkan si kembar yang dilahirkan hanya berselang beberapa menit dan memiliki paras wajah yang sama persis pun tidak akan mungkin tumbuh dengan kepribadian dan kecenderungan yang sama. Apa lagi ibu dan istri yang berasal dari keluarga yang berbeda dan latar belakang yang berbeda.

Kata kunci nya mungkin saling berempati. Kebiasaan – kebiasaan atau sifat yang baik dari orang tua kita patut ditiru. Namun hal ini harus dikomunikasikan dengan baik kepada pasangan, jangan sampai dipaksakan. Pasangan kita pun memiliki kebiasaan dari orang tua nya yang mungkin ingin juga diterapkan dalam rumah tangga nya. Oleh karena itu, empati dan komunikasi menjadi penting. Sehingga tercapai win – win solution yang menjadikan rumah tangga kita sakinah, mawaddah wa rahmah.

dapur vs internet

Percaya ga percaya.. saya sering ngerasa ga pe de kalo ibu - ibu udah ngomongin soal masakan. Karena saya bukan tipikal istri yang "mencintai" dapur. Malah bisa dibilang jarang banget bikinin makanan special buat suami tercinta. Kadang sangking ga pe de nya, berusaha sekuat tenaga "mengalihkan" topik pembicaraan (curang yah.. he..he..).

Sebenernya bukan nya anti memasak sih, cuma saya sering mengalami konflik batin kalau mau masak. Terjadi pertarungan antara kecintaan kepada suami serta keinginan untuk melayani sepenuh hati, dengan kesibukan yang dilengkapi dengan rasa hoream (cuma orang sunda yang bisa ngerti kata yang satu ini :-D).

Yang jelas... it's a working progress.. :-D

Proses menuju kesempurnaan seorang istri itu kan proses yang sangat panjaaang sekali. Dan saya sedang mencoba menapaki jalan menuju ke arah sana.

Kadang - kadang suami saya suka iseng juga sih, nyindir - nyindir soal urusan dapur yang kurang saya mengerti. Biasanya saya bales dengan bilang, walaopun saya ga ngerti soal dapur, tapi kan ngerti soal YM, ga pinter masak tapi kan pinter blogging, suka nyasar kalo masuk dapur, tapi kan ga nyasar kalo browsing. Jadi mungkin kelebihan saya di situ .. he..he.. (maksa yah.. )

Monday, December 10, 2007

mimpi..

Bermimpi besar terkadang sangat mudah sekali. Namun memulai sesuatu yang kita impikan tidak semudah memimpikannya. Membangun mimpi yang besar adalah motivasi bagi diri kita. Namun juga bisa menjadi penghancur diri manakala apa yang kita impikan tidak segera kita laksanakan. Banyak orang gagal setelah mencoba berusaha untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan… dan kegagalan itu jauh lebih baik dibandingkan orang yang hancur pengharapannya karena terus bergelut dengan mimpi besar yang tidak sedikitpun di cobanya untuk diwujudkan.

Taken from my dear husband's site

Sunday, December 09, 2007

miss her ..

honestly.. miss her so much...
although I could see her smiley icon on my computer screen almost every day
although I could say hai and have a little chat sometimes
although I could read her journal which represent her completely
but still... it's not the same..
because she's not here...

privacy

Tulisan ini terinspirasi dari acara Aboslute 20-20 yang diputer di Metro TV bbrp minggu yang lalu. Dalam acara tersebut diceritakan bagaimana saat ini orang mudah sekali untuk membuat halaman web pribadi sebagai tempat untuk menulis, berekspresi, atau membagi cerita tentang dirinya sendiri melalui internet.
Fasilitas seperti blogger, wordpress, multiply, friendster, dan lain - lain membuat orang dengan mudah menciptakan halaman web nya sendiri. Bahkan, ulasan dalam acara tersebut menjelaskan bahwa di Amerika (karena acarannya diproduksi sama Amerika jadi wilayah penelitiannya juga di Amerika kali yah...), hampir setiap orang memiliki situs pribadi yang isinya mulai dari kumpulan tulisan - tulisan, lagu, video rekaman pribadi, foto - foto, dan lain - lain.
Salah satu "dampak", bisa dipandang sebagai dampak posisitif atau negatif, yang timbul dari fenomena ini adalah orang tidak lagi merasa sungkan untuk membagi sesuatu yang sebelumnya dianggap pribadi kepada orang lain melalui situs pribadinya.
Salah satu contoh kasus yang diulas dalam acara tersebut adalah seorang wanita yang dia senang sekali menceritakan hal - hal pribadi (baca: curhat) di halaman situs nya. Tidak hanya itu, dia juga mempublikasikan foto - foto dirinya yang untuk sebagian orang mungkin termasuk kategori "porno". Banyak orang yang berkunjung ke web nya dan memprotes tulisan - tulisan serta foto - foto yang dipublikasikannya. Tapi pengunjung memang tidak punya hak apa - apa selain memberi komentar. Anehnya, wanita ini justru pada akhirnya menikahi pria yang menyukainya karena tulisan - tulisan dan foto yang dia publikasikan melalui situs pribadinya.
With this kind of scientific breaktrough, in the year of 2010, no body will even understad the meaning of privacy anymore...
Begitu katanya...