Daisypath Anniversary tickers

Monday, August 25, 2008

menulis untuk yang tidak pernah membaca

Setiap kita pasti merasa senang ketika hasil karya kita, sekecil apapun itu, mendapatkan respon atau penghargaan dari orang lain. Di sini, di web ini, saya bisa menuliskan banyak hal, dari mulai kejadian - kejadian sepele, curhat, atau ide - ide yang terlintas dalam kepala. Dan sebuah kebahagiaan tersendiri ketika tulisan saya mendapat tanggapan, atau setidaknya muncul icon - icon di halaman paling bawah yang menunjukan siapa saja yang sudah membaca tulisan ini.

Lain hal nya dengan yang saya alami di kantor ini. Disini, salah satu yang dituntut dari setiap orang juga adalah tulisan. Setiap staf disini harus menuliskan report rutin kegiatan mingguan. Selain itu, saya juga harus menulis report - report lainnya. Dari mulai report pelaksanaan suatu kegiatan, report bulanan, sampai dengan report akhir periode (tahunan).

Tapi sangat sedikit sekali orang yang benar - benar membaca report - report yang telah ditulis. Semua itu terkadang hanya menjadi tumpukan file yang sifatnya tidak lebih dari sekedar formalitas belaka. Walaupun report itu sudah dilengkapi dengan tabel, grafik, data statistik, dan gambar - gambar penunjang, tapi tetap saja, tidak banyak orang yang tertarik untuk membacanya. Pernah saya berpikir, mungkin sekali - kali kita harus bikin report pake gambar kartun, biar lebih eye catching. Kadang - kadang, sama sekali tidak ada motivasi untuk menyusun report yang berkualitas, karena saya berasumsi, memang tidak ada gunanya, toh pada dasarnya tidak banyak orang yang membaca report ini.

Satu hal yang saya rasakan, betapa sedihnya menulis untuk orang - orang yang tidak pernah membaca. Rasanya tidak ada yang menghargai hasil jerih payah kita.

Sunday, August 24, 2008

keabisan stock

Dulu waktu masih pengantin baru, saya dan suami sering iseng - iseng ngobrolin soal nama juga soal panggilan anak kita untuk orang tua nya. Walaupun ga tau kapan punya anak nya.. tapi yah iseng aja ngobrolin yang gituan.

Dari awal suami saya sudah bertekad, kalau punya anak laki - laki, ingin sekali diberi nama Thariq yang artinya bintang yang cahanya menembus. Tapi karena hamil nya kesusul terus sama yang lain, akhirnya banyak juga teman - teman yang sudah duluan memberi nama anak laki - lakinya dengan nama Thariq.

Pernah baca sebuah buku, dan di buku itu menemukan satu kata yang bagus sekali. Wafa artinya kesetiaan terhadap janji. Setelah itu kami sepakat bahwa nanti kalau kami punya anak perempuan, kami akan memberinya nama wafa . Eh ternyata, ada temen yang melahirkan trus anaknya dikasih nama wafa. Setelah itu, guru ngaji saya juga melahirkan dan anaknya diberi nama wafa. Trus sekarang neneng rela sholehah, anak pertamanya namanya wafa juga

Trus soal panggilan anak untuk bapak - ibu nya. Tadinya berpikir, nanti anak - anak kami akan memanggil kami dengan panggilan ummi- abi. Tapi kurang pas, karena kakak saya juga dipanggilnya ummi - abi. Akhirnya suami saya usul agar anak - anak kami memanggil ibunya dengan panggilan bunda. Jadi mereka punya ummi (kakak saya) dan punya bunda juga. Akhirnya kami sepakat kalau punya anak kelak, ingin dipanggil ayah dan bunda. Eh ternyata, lagi - lagi karena belom punya anak dan kesusul lagi, panggilan ayah - bunda sudah ada yang pake duluan. Kakak ipar yang sebenarnya menikahnya setelah saya, anak nya dibiasakan untuk memanggil orang tua nya dengan panggilan ayah dan bunda.

Wah... harus buru - buru punya anak nih... sebelom kehabisan stock nama anak dan stock panggilan untuk orang tua..he..he..he..

Wednesday, August 20, 2008

ayo ke jermaan..

"Yang... DAAD udah dibuka tuh beasiswanya...
Ayo dong coba .. Ayang kan punya potensi, insya Allah bisa...
Lagian di Jerman kan ada teh marin.. jadi ga takut kalo sendirian kaan.. "

Untuk kesekian kalinya disemangati suami buat nerusin sekolah ke luar negri. Ya Allah.. sebenernya pingin sekali. Dari dulu, salah satu cita - cita terpendam yang sepertinya belum terlaksana adalah meneruskan sekolah. Sebenarnya bukan tidak berusaha, kalau bicara soal usaha, sudah 3 kali berusaha, walaupun semuanya tidak terlaksana.

Usaha pertama waktu beberapa bulan sebelum menikah, tapi saya batalkan karena waktu itu rasanya sulit untuk beradaptasi dengan suami kalau baru menikah trus beliau ditinggal pergi. Usaha kedua waktu mendaftar ke SBM, sudah diterima tapi akhirnya saya mengundurkan diri. Karena beasiswanya hanya setengah (partial scholarship) dan setengahnya lagi harus cari sendiri uang nya. Waktu itu masih belum kebayang gimana caranya mengumpulkan uang 20 juta dalam waktu 6 bulan. Usaha ketiga, tadinya berencana nemenin neng rela di Johor. Tapi akhirnya mengundurkan diri juga karena situasi dan kondisi yang kurang mendukung.

Dalam setiap usaha untuk meneruskan sekolah, suami saya yang paling semangat dan ada dibarisan terdepan sebagai pendukung. Jadi seharusnya kalau sudah ada izin dari suami, berarti sudah tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Tapi, wallahu'alam sampai hari ini belum terlaksana.

Kadang saya berfikir, apa mungkin sebenarnya halangan untuk meneruskan sekolah itu datang dari dalam diri saya sendiri. Masih terlalu banyak takut nya. Takut belum bisa bertahan sendiri di negri orang. Takut meninggalkan pekerjaan yang sudah lumayan mapan. Takut tidak punya planning yang jelas setelah sekolah. Takut jauh - jauh dari suami (he..he..). Atau takut - takut lainnya.

Yang jelas.. cita - cita itu masih ada. Dan semoga bisa benar - benar terwujud suatu hari nanti.. Insya Allah..

Thursday, August 07, 2008

yang terbaik

“Aduh teh, gimana yaah… dari kemarin – kemarin udah takut banget krn udah telat dua minggu, eh ternyata bener.. positif… gimana yaah… “

Wajah nya merah, tampak sangat jelas kekhawatiran bahkan kesedihan dari raut mukanya. Ekspresi yang sangat tidak biasa yang saya lihat dari perempuan yang mengetahui bahwa dirinya sedang hamil.

Usianya hanya beberapa bulan lebih muda dari saya, tapi dia sudah memiliki dua orang anak. Saya bisa memahami kekhawatirannya. Anak – anaknya masih kecil. Yang nomer dua bahkan beberapa bulan yang lalu sempat divonis gizi buruk oleh dokter karena pertumbuhannya yang kurang normal. Suaminya adalah pekerja di pabrik. Dia dan keluarganya tinggal di rumah kontrakan yang hanya terdiri dari satu kamar dan satu ruangan. Kalau dilihat dari segi ekonomi, mungkin wajar ketika dia merasa belum siap untuk hamil lagi anak ketiga.

Sempat terbersit pertanyaan, kenapa dia… kenapa bukan ribuan wanita lain yang sedang menanti. Kenapa justru orang yang merasa tidak siap untuk hamil kemudian Allah karuniakan janin di rahimnya.

Kita memang tidak bisa memilih ujian apa yang Allah timpakan untuk kita. Sebuah kondisi bisa jadi baik menurut kita tapi belum tentu menurut Allah. Begitu juga sebaliknya, bisa jadi buruk menurut kita, tapi baik menurut Allah.

Keterbatasan kapasitas otak kita seringkali tidak mampu menjangkau kompleksitas scenario kehidupan yang Allah tuliskan untuk kita. Seringkali terbersit pertanyaan dalam hati kita, kenapa begini, kenapa tidak begitu, kenapa seperti ini, kenapa harus saya, kenapa harus begini jalannya, dan pertanyaan – pertanyaan lain yang serupa.

Mau tidak mau jawabannya harus dikembalikan kepada keimanan kita kepada Allah. Keyakinan kita bahwa Allah tahu yang terbaik untuk kita.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S 2;216)

Wednesday, August 06, 2008

nostalgia ..

Tulisan ini sebenernya saya tulis sekitar 4 tahun yang lalu kalau ga salah.. Ini diambil dari arsip pribadi jaman baheula. Setelah menulis tulisan sebelumnya, entah kenapa jadi kangen dengan masa - masa kuliah dulu. Terutama kangen dengan temen - temen seperjuangan, kangen dengan nuansa - nuansa da'wah di kampus. Kangen dengan kajian di selasar IF lantai 2 yang pematerinya pasti deh.. teh marin (langganan.. ). Kangen dengan dauroh - dauroh, demo - demo, taujih - taujih, pokonya kangen semua nya... Semoga tulisan ini bisa kembali mengingatkan untuk tidak terjebak dalam nuansa masa lalu dan bisa terus bergerak, berbuat, dimana pun, dalam kondisi apapun.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dunia kampus memang dunia yang menyenangkan. Tempat dimana kita dibina, dibekali, dan tempat dimana terjadinya proses pembentukan kepribadian, pemahaman serta pola pikir kita. Dunia pertengahan dimana kita mengurangi jiwa kekanak - kanakan kita di masa sekolah dulu dan membentuk kedewasaan pola pikir serta sikap kita. Kita bisa berekspresi sebebas yang kita mau. Kita bisa melenggang dengan semua idealitas yang kita pahami. Kita bahkan boleh salah tanpa ada yang menghakimi. Karena kita sedang "belajar".

Lain hal nya dengan dunia pasca kampus. Dunia diluar batas - batas yang memagari tempat kita belajar. Dunia dimana kita menghadapi realita hidup yang selama ini jarang kita temui karena keasyikan kita bermain - main di dunia maya yang penuh idealita. Disini kita ditanya, "siapa kamu dan siapa saya ?" Disini kita ditanya, apa yang kita bisa. Di dunia yang baru inilah diuji semua pemahaman kita. Melunturkah pemahaman kita ? Menurunkah semangat kita dalam menegakan apa yang kita pahami ? Meleburkah kita dengan lingkungan yang justru bertentangan dengan idealita yang kita pegang selama ini? Semua akan dibuktikan disini.

Akan ada banyak kejutan - kejutan yang kita temui di dunia ini. Saya sendiri merasa terkejut melihat betapa asingnya saya di lingkungan yang baru ini. Betapa anehnya orang melihat jilbab saya yang terurai dan gaya busana saya yang sangat berbeda dengan yang lain. Betapa bingung nya mereka melihat saya yang tidak mau bersentuhan dengan lawan jenis dan menolak tawaran untuk pulang berdua dalam satu kendaraan yang sama. Saya tidak pernah membayangkan bahwa akan ada seorang pria yang berani menepuk bahu saya padahal saya merasa sudah cukup tegas dalam menentukan batas. Dunia baru ini memang menyimpan begitu banyak kejutan.

Mereka - mereka yang telah mempersiapkan diri dengan prima, mungkin akan bertahan dalam keistiqomahannya. Mereka - mereka yang selalu menghadirkan Allah dalam setiap langkah kaki dan pandangan nya, akan selalu berada dalam naungan-Nya. Mereka - mereka yang menghabiskan waktu untuk bernostalgia dan mengenang masa - masa indah semasa di kampus serta berharap agar segala sesuatunya kembali seperti dulu, tentulah akan terlindas oleh berputarnya zaman, dan tertinggal dari barisan kafilah mulia yang selalu berusaha agar hari ini lebih baik dari kemarin walau apapun resikonya. Mereka - mereka yang menyerah pada keadaan, berpasrah pada kelemahan diri, tentulah lambat laun akan melarut dalam kubangan hitam kehinaan.

Semua terserah kepada kita, termasuk kedalam golongan yang mana kah kita ?

Sisi lain yang juga merupakan konsekuensi dari terlepasnya kita dari dunia kampus adalah tuntutan untuk kembali memposisikan diri dalam desain besar da’wah ini. Karena setelah lulus dari kuliah, kita bukan lagi aktivis da’wah kampus dengan segala hak dan kewajibannya. Kita dituntut untuk meninggalkan pos kita yang lama demi membuka ruang bergerak bagi adik – adik kita para generasi baru dan demi mengisi atau menciptakan pos – pos da’wah yang lain.. Mungkin inilah yang cukup sulit dilakukan. Orang bilang, selepasnya dari kampus, para aktivis da’wah rentan terkena post power syndrom. Sebuah kondisi ketika kita dituntut untuk melepaskan dunia yang lama tapi kita belum sepenuhnya menemukan tempat di dunia yang baru.

Saya sendiri tidak bisa menghindarkan rasa kangen untuk kembali “turun ke jalan”, atau untuk kembali memenuhi koridor – koridor di sekitar masjid Salman, tempat dimana dulu orang lebih mudah menemukan saya ketimbang mencari di sekitar kampus. Tapi tetapi harus diakui bahwa tempat – tempat itu harus kita “tinggalkan”, kita harus memberi kesempatan bagi generasi yang baru untuk mengisi pos – pos da’wah yang pernah membuat hidup kita lebih “hidup”. Tempat kita bukan lagi di situ.

Suka atau tidak, kita sekarang dituntut untuk memenuhi pos da’wah yang lain, atau bahkan menciptakan pos da’wah yang baru. Biarkan adik – adik kita turun ke jalan, sementara kita duduk di ruang rapat tempat kita merintis da’wah profesi kita. Biarkan adik – adik kita memenuhi koridor yang penuh kenangan itu, sementara kita berusaha mengajak orang – orang berdasi di sekitar kita untuk memenuhi mesjid. Biarkan adik – adik kita yang berhadapan dengan barikade polisi pengawal patroli, sementara kita berhadapan langsung dengan masyarakat luas, dengan segala macam karakteristik dan permasalahannya. Biarkan adik – adik kita yang mengisi pos – pos da’wah yang pernah kita tempati dulu, sementara kita disini berusaha mengisi kekosongan pos da’wah yang lain.

Da’wah ini masih butuh para profesional yang tidak hanya bekerja mencari uang, tapi juga bekerja mensejahterakan ummat. Da’wah ini masih butuh orang – orang berdasi yang pantang untuk korupsi. Da’wah ini masih butuh para professor – professor yang akan mengantarkan ummat untuk meraih kembali izzah Islam nya. Da’wah ini masih butuh para ekonom yang tidak hanya membuat orang kenyang mendapat makan, tapi juga membuat orang miskin menjadi kenyang.

Masih banyak yang harus kita lakukan. Ucapkan selamat tinggal pada dunia da’wah kampus yang dulu, kalau lah kita harus kembali, bukan kembali untuk mengisi tempat yang sama seperti dulu. Jangan biarkan diri kita terus dibuai oleh kenangan masa lalu. Bergeraklah, memposisikan diri kita dengan peran kita yang baru dalam grand design da’wah ini. Jangan biarkan roda da’wah ini berputar tanpa kita ikut berputar bersamanya.

Saya bukan orang yang sukses di dunia nyata pasca kampus. Mungkin belum. Tapi saya selalu berharap bahwa izzah sebagai seorang muslim itu akan tetap tertanam dalam benak saya. Bahwa janji nahnu du'at qobla kulli syai'i itu akan tetap tertunaikan. Semoga Allah memberikan kemudahan.

antrian yang sama ... sepuluh tahun yang lalu

Sejak hari senin kemarin area di sekitar gedung annex di komplek rektorat ITB cukup ramai dipadati oleh antrian mahasiswa baru. Setahu saya memang pendaftaran mahasiswa baru yang dinyatakan lulus melalui tes SNMPTN memang sudah dimulai.

Teringat kembali antrian yang sama sepuluh tahun yang lalu. Bulan Agustus 1998. Saya masih ingat waktu itu datang sekitar jam 8 pagi dan ternyata antrian sudah sangat panjang di luar gedung GSG ITB. Masih ada perasaan exciting dan setengah tidak percaya karena bisa diterima di ITB. Tapi ada juga perasaan sedikit takut, takut ada persyaratan yang kurang, takut ga bisa dapat temen di lingkungan yang baru, takut di ospek juga ).

Sampai hari ini, saya sangat bersyukur karena pernah mendapatkan kesempatan untuk berdiri di antrian itu. Bukan hanya bersyukur karena bisa belajar di kampus dengan sistem dan fasilitas pendidikan yang relatif cukup baik, tapi juga sangat bersyukur karena bisa menemukan lingkungan yang saya cari setelah sekian lama.

Bersyukur karena menemukan wajah - wajah teduh yang mengajarkan saya apa arti hidup. Membimbing saya dengan penuh keikhlasan menuju cahaya. Membantu saya memahami apa itu cinta, kasih sayang, pengorbanan dan perjuangan. Memberikan bekal bagi saya untuk bisa menilai mana yang baik, mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah.

Untuk teteh - teteh, akang - akang, ukhti, akhi, adik - adik tersayang, dan semua orang yang pernah menjadi bagian dari cerita cinta saya di kampus Ganesha, Semoga Allah membalas semua kebaikan dengan balasan yang berlipat ganda. Semoga Allah selalu mengekalkan ikatan hati kita dalam keimanan kepada-Nya. Semoga kita selalu dipersatukan Allah bersama dengan orang - orang yang berjuang di jalan-Nya. Semoga cerita - cerita dan kenangan yang pernah ada akan selalu menjadi inspirasi untuk bersabar dalam keta'atan kepada-Nya.