Daisypath Anniversary tickers

Tuesday, March 25, 2008

why read Qur'an?

This beautiful story is copied from an email at km3@yahoogroups.com

--------------------------------------------------------------------------------

An old American Muslim lived on a farm in the mountains of eastern Kentucky with his young grandson. Each morning Grandpa wakeup early sitting at the kitchen table reading his Quran. His grandson wanted to be just like him and tried to imitate him in every way he could.

One day the grandson asked, "Grandpa! I try to read the Qur'an just like you but I don't understand it, and what I do understand I forget as soon as I close the book. What good does reading the Qur'an do?"

The Grandfather quietly turned from putting coal in the stove and replied, "Take this coal basket down to the river and bring me back a basket of water." The boy did as he was told, but all the water leaked out before he got back to the house. The grandfather laughed and said, "You'll have to move a little faster next time," and sent him back to the river with the basket to try again. This time the boy ran faster, but again the basket was empty before he returned home. Out of breath, he told his grandfather that it was impossible to carry water in a basket, and he went to get a bucket instead.

The old man said, "I don't want a bucket of water; I want a basket of water. You're just not trying hard enough," and he went out the door to watch the boy try again. At this point, the boy knew it was impossible, but he wanted to show his grandfather that even if he ran as fast as he could, the water would Leak out before he got back to the house.

The boy again dipped the basket into river and ran hard, but when he reached his grandfather the basket was again empty. Out of breathe, he said, "See Grandpa, it's useless!"

"So you think it is useless?" The old man said,

"Look at the basket."

The boy looked at the basket and for the first time realized that the basket was different. It had been transformed from a dirty old coal basket and was now clean, inside and out.

"Son, that's what happens when you read the Qur'an. You might not understand or remember everything, but when you read it, you will be changed, inside and out. “
That is the work of Allah in our lives.

Tuesday, March 18, 2008

mahar

Pagi ini saya mendengar sesuatu yang membuat saya tertegun, yaitu cerita mengenai seorang akhwat yang meminta dinar dan dirham sebagai mahar nya. Ini bukan kisah tentang seorang shohabiyah di jaman Rasulullah, ini kisah nyata yang terjadi hari ini tanggal 18 Maret 2008, di sini, di kota Bandung tercinta.


Apa permintaan itu salah ? Tentu saja tidak. Karena memang tidak ada batasan maksimum ataupun minimum untuk sebuah mahar. Mau tahu yang lebih lucu? Ketika mendengar permintaan dari sang akhwat mengenai mahar yang berupa dinar dan dirham, komentar dari keluarga ikhwan nya adalah .. "Bedanya dinar sama dirham apa yah?"


Sekali lagi saya tegaskan, memang tidak pernah ada batasan minimum untuk ukuran sebuah mahar. Dalam hadits dikisahkan tentang seorang wanita yang rela menerima sepasang sendal sebagai maharnya,


Dari Amir bin Robi`ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?". Dia menjawab," Rela". Maka Rasulullahpun membolehkannya (HR. Ahmad 3/445, Tirmidzi 113, Ibnu madjah 1888).


Atau kisah spektakuler seorang Ummu Sulaim yang merasa cukup dengan keislaman sang calon suami sebagai mahar nya,


Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata," Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam, keislamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya". Maka jadilah keislaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa`ih 6/ 114).


Sebagaimana tidak adanya batasan minimum, batasan maksimum untuk sebuah mahar pun tidak ada. Dikisahkan ketika Umar Bin Khattab Ra berinisiatif memberikan batas maksimal untuk masalah mahar saat beliau bicara diatas mimbar. Beliau menyebutkan maksimal mahar itu adalah 400 dirham. Namun segera saja dia menerima protes dari para wanita dan memperingatkannya dengan sebuah ayat qur`an. Sehingga Umar pun tersentak kaget dan berkata,"Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari Umar". Kemudian Umar kembali naik mimbar,"Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan lakukan sekehendak anda"


Meskipun demikian, tentu saja mahar yang terbaik adalah mahar yang tidak memberatkan,


Dari Aisyah Ra bahwa Rasulullah SAW bersabda," Nikah yang paling besar barokahnya itu adalah yang murah maharnya" (HR Ahmad 6/145)


Kembali ke cerita tadi, saat ini dinar dan dirham diperdagangkan dalam bentuk koin emas dan perak dengan harga dinar berkisar 1.3 juta per keping. Ketika sang calon pengantin wanita meminta dinar dan dirham sebagai maharnya, apakah dia sudah memperhitungkan memberatkan atau tidak memberatkan kah permintaanya.


Kalau pihak keluarga ikhwan bahkan tidak tahu apa bedanya dinar dan dirham, bukankah cukup memberatkan bagi mereka untuk menyediakannya?


Teringat pengalaman saya sendiri, saya bahkan tidak terpikir untuk bertanya, mahar apa yang akan diberikan calon suami saya untuk saya. Saya baru tahu mahar yang beliau berikan untuk saya ketika kami berdua sudah ada dihadapan penghulu.