Daisypath Anniversary tickers

Thursday, June 09, 2005

Baju Yang Sama

“ Rabu kemaren upi pake baju yang ini juga kan ? “
Saya terdiam dan untuk beberapa saat memperhatikan jilbab, baju serta kerudung yang saya kenakan.
“ Iya yah ? “
Ternyata tanpa saya sadari hampir setiap rabu saya memakai baju yang sama. Dan memang selalu seperti itu. Semua baju yang saya kenakan minggu ini, hampir pasti akan menempel kembali di badan saya minggu depan. Bukan karena saya senang memakainya, tapi memang karena tidak ada pilihan lain.

Penampilan bagi seorang muslim memang menjadi salah satu indikasi keimanannya. Karena Rasulullah sendiri mengatakan bahwa kebersihan itu adalah sebagian daripada iman. Oleh karena itu kebersihan diri kita yang terlihat dari penampilan kita juga merupakan bagian dari iman. Rasulullah pun menempatkan keindahan sebagai salah satu hal yang disukainya, sehingga keindahan penampilan kita juga memang bukan sesuatu yang sepele. Apalagi bagi seseorang yang mengazzamkan diri utk menjadi seorang da’i. Penampilan adalah salah satu alat untuk mencapai keberhasilan misinya. Don’t judge a book by it’s cover, begitu kata orang. Tapi kita juga tidak bisa menafikan bahwa cover yang menarik akan menstimulus kita untuk melihat isinya.

Saya memahami itu dan insya Allah berusaha mengamalkannya. Saya termasuk penentang para aktivis muslim yang suka meng-adudomba-kan warna. Misalnya dengan memaksakan jilbab merah ketemu dengan baju kuning. Atau rok berwarna ungu menyala berdampingan dengan atasan hijau. Dan saya juga termasuk pemberantas tindakan “crime against fashion” (meminjam istilahnya Oprah Winfrey) yang dilakukan oleh kalangan teman – teman terdekat.

Tapi saya rasa prinsip menjaga penampilan tidak ada hubungannya dengan mengkoleksi busana. Tidak ada hubungannya dengan memiliki 1 jilbab untuk setiap warna yang ada. Dan tidak ada hubungannya dengan membeli setiap model baju keluaran terbaru. Saya pernah terbingung – bingung ketika memperhatikan penampilan seorang teman. Satu hari saya melihat beliau dengan rok berwarna hijau, yang saya tahu umurnya pasti tidak lebih dari beberapa bulan. Kemudian beberapa minggu kemudian saya melihat beliau dengan rok biru muda, yang saya tau dulu beliau tidak punya rok berwarna itu. Kemudian beberapa waktu berselang saya bertemu lagi dengan beliau ketika beliau mengenakan atasan berwarna pink yang itu juga termasuk kategori baju baru karena umurnya baru beberapa minggu. Dan beberapa hari setelah itu saya bertemu lagi dengan beliau yang mengenakan kemeja putih bergaris – garis. Itu juga baru. Tiba – tiba terlintas dalam benak saya, emang beliau itu badannya ada berapa yah ? Ko’ hobi sekali beli baju. Bahkan kalau dihitung – hitung, beliau membeli baju hampir satu bulan sekali. (Wah… kalo infak nya berapa bulan sekali yah :D )

Fenomena ini memang mudah sekali ditemukan dikalangan akhwat / wanita pada umumnya. Bila godaaan terberat bagi seorang pria adalah wanita, maka godaan terberat bagi seorang wanita adalah harta. Pernah juga saya dikejutkan oleh komentar seorang akhwat, “kayanya seru yah kalo punya koleksi kain batik.” (Haahhhh ??) Betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk memenuhi kebutuhan syahwat ini terhadap sesuatu yang indah.

Sulit memang mencontoh kesederhanaan seorang Umar bin Khattab. Yang dengan jubah sederhananya beliau mampu “mengguncang dunia”. Bahkan ketika suatu hari beliau mengenakan jubah yang terlihat lebih bagus dari jubah yang biasa beliau kenakan, salah seorang rakyatnya memberanikan diri untuk menegur beliau karena melihat itu adalah fenomena yang tidak biasa. Dan jawaban Umar terhadap teguran itu pun tidak kalah luar biasa, “Ini adalah jubah pemberian anak ku Abdullah”, begitu jawabnya.

Dan juga memang tidak mudah mencontoh sifat qona’ah seorang Abu Bakar. Jangankan memikirkan trend fashion masa kini, beliau bahkan tidak segan – segan menyerahkan nasib keluarganya pada Allah ketika beliau menginfakan seluruh hartanya.

Tapi seharusnya itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Karena memang harus diakui, kesenangan kita dalam berlebihan terhadap harta tidak akan pernah ada batasnya. Kecuali kita sendiri yang tentukan batas itu dan menjalaninya dengan istiqomah. Genggamlah harta itu ditangan kita, tapi jangan biarkan ia merajai hati kita. Harta di dunia hanyalah sebuah alat untuk mencapai keridhaan Allah. Dan harta itu juga hanya sebagai perantara kita untuk menggengam harta yang sesungguhnya di sisi Allah.

“ Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” [Q.S Ali Imran:14]

“ Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” [Q. S. Al Baqarah : 265]

Walahua’lam bish shawab

2 comments:

Yentri Marchelino said...

hiks... teteh, yentri ngerasa ketendang, kepentung, ditampar dan... [apalagi ya??] huaaaaaaa...
iya ya teh, mesti banyak introspeksi neeeh... doakan ya tetehku chayank :x :x
*kangen, dah lama ga bisa OL*

~ upi ~ said...

buat yentri :
tulisan ini juga emang sarana introspeksi buat upi sendiri. terinspirasi dari cerita mengharukan khairunnisa (anak pemulung yang meninggal dan harus digendong bapaknya ke kuburan). Padahal biaya ke puskesmas cuma 4000 rupiah. Mungkin sepertiga dari uang yang kita habiskan utk satu kali makan siang :|