Ada satu sisi dari calon suami/istri yang harus diketahui sebelum kita menikah. Saya sendiri baru menyadari hal ini justru setelah saya menikah. Sisi tersebut adalah bagaimana kedekatan seorang anak laki – laki dengan ibunya (untuk calon suami) atau bagaimana kedekatan seorang anak perempuan dengan bapaknya (untuk calon istri).
Jika seorang anak perempuan sangat dekat dengan ibunya, itu bukan satu hal yang aneh. Atau jika seorang anak laki – laki sangat dekat dengan bapaknya, itu juga bukan satu hal yang aneh. Tapi jika anak laki – laki sangat dekat dengan ibunya, atau anak perempuan sangat dekat dengan ayahnya, walaupun bukan berarti ini suatu hal yang buruk, tapi hal ini dapat mempengaruhi kehidupan perkawinan anak – anak tersebut nantinya.
Anak laki – laki yang sangat dekat dengan ibunya, melihat ibunya sebagai sosok wanita yang boleh dibilang sempurna. Baik secara eksplisit maupun implisit, baik secara verbal maupun non verbal, dia mengagumi ibunya. Mengagumi kelembutannya, ketrampilannya mengurus rumah tangga, kesabarannya menghadapi anak – anak, pengorbanannya. Pendek kata, ibu nya adalah gambaran wanita yang ideal untuknya. Gambaran ini lah yang, baik secara sadar maupun tidak, dia jadikan barometer atau alat ukur dalam menilai baik/buruk, kelebihan/kekurangan dari istrinya kelak.
"Ibu kalau masak sayur lodeh, kuah nya ga terlalu kental"
"Mamah kalau pagi – pagi, udah sibuk beres – beres, masak trus cuci piring "
Seperti yang saya bilang tadi, baik secara sadar maupun tidak, anak laki – laki yang sangat dekat dengan ibunya, akan menjadikan ibunya sebagai panduan, atau referensi untuk menilai baik/buruknya seorang wanita, trampil atau tidak nya dia mengurus rumah tangga, atau hal – hal lain yang berkaitan dengan wanita. Oleh karena itu, secara sadar maupun tidak, dia juga membandingkan istrinya dengan ibunya.
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada anak perempuan yang sangat dekat dengan ayahnya. Dia menjadikan ayahnya acuan dalam menilai kearifan, kebijaksanaan atau bahkan kemampuan menafkahi yang harus dimiliki seorang suami.
Saya selalu teringat nasihat bijak yang disampaikan oleh seorang akhwat,
Sampaikanlah pada suami mu, “wahai suamiku, maafkan aku jika belum bisa memasakkan makanan seenak ibumu, sebagaimana aku maafkan engkau jika belum bisa mencukupi kebutuhan rumah seperti yang selama ini ayahku sediakan untukku.”
Mengenal orang tua kita bertujuan agar kita lebih empati satu dengan yang lain, bukan agar kita saling memaksakan kondisi kita sebelumnya. Toh, rumah tangga ini milik kita…bukan milik mereka…
Mengapa orang selalu mengatakan “selamat menempuh hidup baru” bagi orang yang baru menikah, mungkin karena memang kehidupan setelah pernikahan adalah kehidupan yang benar – benar baru. Dengan kebiasaan baru, dengan orang yang baru kita kenal sisi – sisi kepribadiannya, dengan masakan yang rasanya “baru”, dengan jam bangun/jam tidur yang baru, atau hal – hal lainnya yang sangat berbeda dengan kondisi kehidupan kita sebelumnya.
Ibu tidaklah sama dengan istri, sebagaimana ayah tidak sama dengan suami. Bahkan si kembar yang dilahirkan hanya berselang beberapa menit dan memiliki paras wajah yang sama persis pun tidak akan mungkin tumbuh dengan kepribadian dan kecenderungan yang sama. Apa lagi ibu dan istri yang berasal dari keluarga yang berbeda dan latar belakang yang berbeda.
Kata kunci nya mungkin saling berempati. Kebiasaan – kebiasaan atau sifat yang baik dari orang tua kita patut ditiru. Namun hal ini harus dikomunikasikan dengan baik kepada pasangan, jangan sampai dipaksakan. Pasangan kita pun memiliki kebiasaan dari orang tua nya yang mungkin ingin juga diterapkan dalam rumah tangga nya. Oleh karena itu, empati dan komunikasi menjadi penting. Sehingga tercapai win – win solution yang menjadikan rumah tangga kita sakinah, mawaddah wa rahmah.
Jika seorang anak perempuan sangat dekat dengan ibunya, itu bukan satu hal yang aneh. Atau jika seorang anak laki – laki sangat dekat dengan bapaknya, itu juga bukan satu hal yang aneh. Tapi jika anak laki – laki sangat dekat dengan ibunya, atau anak perempuan sangat dekat dengan ayahnya, walaupun bukan berarti ini suatu hal yang buruk, tapi hal ini dapat mempengaruhi kehidupan perkawinan anak – anak tersebut nantinya.
Anak laki – laki yang sangat dekat dengan ibunya, melihat ibunya sebagai sosok wanita yang boleh dibilang sempurna. Baik secara eksplisit maupun implisit, baik secara verbal maupun non verbal, dia mengagumi ibunya. Mengagumi kelembutannya, ketrampilannya mengurus rumah tangga, kesabarannya menghadapi anak – anak, pengorbanannya. Pendek kata, ibu nya adalah gambaran wanita yang ideal untuknya. Gambaran ini lah yang, baik secara sadar maupun tidak, dia jadikan barometer atau alat ukur dalam menilai baik/buruk, kelebihan/kekurangan dari istrinya kelak.
"Ibu kalau masak sayur lodeh, kuah nya ga terlalu kental"
"Mamah kalau pagi – pagi, udah sibuk beres – beres, masak trus cuci piring "
Seperti yang saya bilang tadi, baik secara sadar maupun tidak, anak laki – laki yang sangat dekat dengan ibunya, akan menjadikan ibunya sebagai panduan, atau referensi untuk menilai baik/buruknya seorang wanita, trampil atau tidak nya dia mengurus rumah tangga, atau hal – hal lain yang berkaitan dengan wanita. Oleh karena itu, secara sadar maupun tidak, dia juga membandingkan istrinya dengan ibunya.
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada anak perempuan yang sangat dekat dengan ayahnya. Dia menjadikan ayahnya acuan dalam menilai kearifan, kebijaksanaan atau bahkan kemampuan menafkahi yang harus dimiliki seorang suami.
Saya selalu teringat nasihat bijak yang disampaikan oleh seorang akhwat,
Sampaikanlah pada suami mu, “wahai suamiku, maafkan aku jika belum bisa memasakkan makanan seenak ibumu, sebagaimana aku maafkan engkau jika belum bisa mencukupi kebutuhan rumah seperti yang selama ini ayahku sediakan untukku.”
Mengenal orang tua kita bertujuan agar kita lebih empati satu dengan yang lain, bukan agar kita saling memaksakan kondisi kita sebelumnya. Toh, rumah tangga ini milik kita…bukan milik mereka…
Mengapa orang selalu mengatakan “selamat menempuh hidup baru” bagi orang yang baru menikah, mungkin karena memang kehidupan setelah pernikahan adalah kehidupan yang benar – benar baru. Dengan kebiasaan baru, dengan orang yang baru kita kenal sisi – sisi kepribadiannya, dengan masakan yang rasanya “baru”, dengan jam bangun/jam tidur yang baru, atau hal – hal lainnya yang sangat berbeda dengan kondisi kehidupan kita sebelumnya.
Ibu tidaklah sama dengan istri, sebagaimana ayah tidak sama dengan suami. Bahkan si kembar yang dilahirkan hanya berselang beberapa menit dan memiliki paras wajah yang sama persis pun tidak akan mungkin tumbuh dengan kepribadian dan kecenderungan yang sama. Apa lagi ibu dan istri yang berasal dari keluarga yang berbeda dan latar belakang yang berbeda.
Kata kunci nya mungkin saling berempati. Kebiasaan – kebiasaan atau sifat yang baik dari orang tua kita patut ditiru. Namun hal ini harus dikomunikasikan dengan baik kepada pasangan, jangan sampai dipaksakan. Pasangan kita pun memiliki kebiasaan dari orang tua nya yang mungkin ingin juga diterapkan dalam rumah tangga nya. Oleh karena itu, empati dan komunikasi menjadi penting. Sehingga tercapai win – win solution yang menjadikan rumah tangga kita sakinah, mawaddah wa rahmah.
0 comments:
Post a Comment