Oleh karena itu, menurut saya, tidak pernah ada batasan waktu untuk terus saling mengenali, memahami dan menerima antara kita dengan pasangan hidup kita. Walaupun memang, energi terbesar dalam menjajaki kepribadian seorang suami/seorang istri pasti terkuras di masa awal pernikahan. Masa dimana untuk pertama kali nya menghabiskan waktu sekian jam bersama setiap harinya. Mulai dari bangun tidur, sampai tidur kembali bahkan ketika tidur di malam haripun dihabiskan bersama. Pada masa seperti itu lah mulai terjadi gesekan – gesekan kepribadian. Benturan antara nilai dan kebiasan yang dianut satu sama lain. Norma – norma yang berlaku pada keluarga masing – masing mulai berbenturan.
Pada masa seperti itu sangat kental sekali kata – kata, saya itu orang nya begini, dalam keluarga saya biasanya seperti ini, saya suka nya begini, saya tidak suka kalo begini, dst. Dan hampir dapat dipastikan bahwa karakter yang dimiliki, nilai – nilai yang dipahami, kebiasan – kebiasaan yang dijalani tidak akan 100% sejalan walaupun mungkin ada juga beberapa kesamaan.
Adaptasi, saling terbuka dan berusaha memahami, mungkin itu kata – kata kunci nya. Bahwa keluarga yang ingin dibangun dan dijalani adalah keluarga kita sendiri. Bukan keluarga orang tua kita. Bahwa setiap kita tidak bersikukuh dengan kepribadian kita sendiri, kemauan kita sendiri, dan bersikukuh dengan kebiasaan kita sendiri yang kita jalani dalam keluarga orang tua kita. Karena sejak saat ijab qabul diucapkan maka ada seseorang disamping kita yang juga harus dipertimbangkan perasaannya. Yang juga harus dipenuhi haknya untuk hidup tentram dan nyaman di lingkungan yang baru. Karena itulah harus ada kompromi, harus ada energi yang dikeluarkan untuk beradaptasi dengan landasan keterbukaan dan sikap berusaha untuk saling memahami. Harus disepakati lagi nilai – nilai yang baru yang merupakan win – win solution untuk keluarga yang baru. Harus ada kebiasaan – kebiasaan baru yang diterapkan di keluarga yang dapat diterima bersama. Dan harus ada karakter – karakter baru yang disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Sepenuhnya berharap agar pasangan hidup kita 100% seperti apa yang kita inginkan memang tidak mungkin. Tapi pasrah dengan keadaan dan bersikap ”mengalah” juga sebenarnya bukan sikap terbaik. Menurut buku yang saya baca, mengalah sebenernya berpotensi menjadi bom waktu. Karena ketika kita sepenuhnya mengalah tanpa berusaha mencari win – win solution maka pada saat itu, terbangun sebuah pemikiran dalam kepala kita bahwa kita sudah berkorban. Dan pengorbanan seperti ini akan terus ditumpuk dan dihitung hingga suatu saat kita kelelahan dan tidak mampu lagi menerima nya. Merasa kehilangan jati diri dan merasa ’terjajah’ secara psikologis. Jika saat seperti ini datang maka besar kemungkinan bahwa kita akan menyerah. Menyerah bisa berwujud berhenti mencintai dan berhenti hidup bersama, atau bisa juga berwujud sesuatu yang lebih parah yaitu berhenti menjalani kehidupan ini. Na’udzubillah ...