This writing is inspired by : “Menjadi Murrabiyah Sukses” oleh Cahayadi Takariawan dan Ida Nur Laila
Ada empat orang tukang bangunan yang terlibat dalam proses pembangunan sebuah mesjid. Ketika orang pertama ditanya apa yang sedang dia lakukan, dia menjawab “ saya sedang memecah batu”. Ketika orang kedua ditanya dengan pertanyaan yang sama, dia menjawab “saya sedang membangun mesjid”. Dan jawaban dari orang ketiga untuk pertanyaan yang sama adalah “ saya sedang mencari nafkah untuk anak dan istri saya”. Berbeda dengan orang pertama, kedua, dan ketiga, ketika pertanyaan ini diajukan kepada orang keempat, dia menjawab “ saya sedang membangun peradaban”.
Cerita itu merefleksikan bahwa nilai dari apa yang kita kerjakan sebenarnya sangat bergantung kepada cara berpikir kita terhadap pekerjaan itu. Sekecil apapun pekerjaan yang kita lakukan, jika kita memahami bahwa pekerjaan itu adalah bagian dari sebuah perencanaan besar, atau bahwa pekerjaan itu adalah proses menuju terwujudnya sesuatu yang besar, maka tidak akan ada lagi perasaan kecil dalam hati kita ketika mengerjakan pekerjaan itu.
Seorang tukang sampah yang berjalan dari rumah ke rumah untuk mengangkut sampah misalnya, ketika dia memandang bahwa apa yang dia kerjakan adalah untuk mewujudkan sebuah kota yang bersih misalnya, untuk menciptakan keindahan yang sangat disukai Allah misalnya, atau untuk meringankan beban sekian banyak orang sehingga mereka bisa mengerjakan yang lain tanpa harus memikirkan masalah sampah yang menggunung di rumahnya, maka dia akan selalu mudah untuk memotivasi dirinya sendiri ketika dia merasa lelah dalam mengerjakan pekerjaannya. Dia tidak akan pernah memandang remeh pekerjaannya.
Atau contoh lain adalah seorang murrabi (pendidik) yang duduk dihadapan dua orang objek da’wah nya, berusaha menjelaskan tentang nilai – nilai islam, berusaha memberikan pencerahan intelektual sekaligus spiritual untuk keduanya, tentu tidak akan mudah merasa kecil hati dengan jumlah orang yang ada dihadapannya ketika dia berpikir bahwa dari dua orang ini, masing – masing mereka akan menyampaikan kepada 10 orang lainnya, kemudian yang 20 orang itu masing – masing akan menyampaikan kepada 10 orang lainnya sehingga terkumpul 222 orang yang memahami islam. Dengan frame berpikir yang seperti ini tentu dia tidak akan menggap kecil apa yang sedang dikerjakannya.
Jadi, nilai dari apa yang kita kerjakan sangat tergantung kepada bagaimana cara berpikir kita terhadap pekerjaan itu sendiri. Walaupun harus diakui bahwa terkadang kepenatan kita membuat kita kurang bisa bersikap “think global act local”. Terkadang tetap saja ada perasaan – perasaan kecil hati ketika melihat bahwa apa yang kita kerjakan tidak secara instant dapat langsung dilihat dampak atau keberhasilannya. Dan terkadang tetap saja ada perasaan – perasaan kesepian ketika melihat sedikitnya jumlah orang yang sedang berjalan menuju ke arah yang sama.
~upi, yang sedang berusaha mengumpulkan serpihan – serpihan semangat untuk memotivasi diri agar tetap bergerak~
Ada empat orang tukang bangunan yang terlibat dalam proses pembangunan sebuah mesjid. Ketika orang pertama ditanya apa yang sedang dia lakukan, dia menjawab “ saya sedang memecah batu”. Ketika orang kedua ditanya dengan pertanyaan yang sama, dia menjawab “saya sedang membangun mesjid”. Dan jawaban dari orang ketiga untuk pertanyaan yang sama adalah “ saya sedang mencari nafkah untuk anak dan istri saya”. Berbeda dengan orang pertama, kedua, dan ketiga, ketika pertanyaan ini diajukan kepada orang keempat, dia menjawab “ saya sedang membangun peradaban”.
Cerita itu merefleksikan bahwa nilai dari apa yang kita kerjakan sebenarnya sangat bergantung kepada cara berpikir kita terhadap pekerjaan itu. Sekecil apapun pekerjaan yang kita lakukan, jika kita memahami bahwa pekerjaan itu adalah bagian dari sebuah perencanaan besar, atau bahwa pekerjaan itu adalah proses menuju terwujudnya sesuatu yang besar, maka tidak akan ada lagi perasaan kecil dalam hati kita ketika mengerjakan pekerjaan itu.
Seorang tukang sampah yang berjalan dari rumah ke rumah untuk mengangkut sampah misalnya, ketika dia memandang bahwa apa yang dia kerjakan adalah untuk mewujudkan sebuah kota yang bersih misalnya, untuk menciptakan keindahan yang sangat disukai Allah misalnya, atau untuk meringankan beban sekian banyak orang sehingga mereka bisa mengerjakan yang lain tanpa harus memikirkan masalah sampah yang menggunung di rumahnya, maka dia akan selalu mudah untuk memotivasi dirinya sendiri ketika dia merasa lelah dalam mengerjakan pekerjaannya. Dia tidak akan pernah memandang remeh pekerjaannya.
Atau contoh lain adalah seorang murrabi (pendidik) yang duduk dihadapan dua orang objek da’wah nya, berusaha menjelaskan tentang nilai – nilai islam, berusaha memberikan pencerahan intelektual sekaligus spiritual untuk keduanya, tentu tidak akan mudah merasa kecil hati dengan jumlah orang yang ada dihadapannya ketika dia berpikir bahwa dari dua orang ini, masing – masing mereka akan menyampaikan kepada 10 orang lainnya, kemudian yang 20 orang itu masing – masing akan menyampaikan kepada 10 orang lainnya sehingga terkumpul 222 orang yang memahami islam. Dengan frame berpikir yang seperti ini tentu dia tidak akan menggap kecil apa yang sedang dikerjakannya.
Jadi, nilai dari apa yang kita kerjakan sangat tergantung kepada bagaimana cara berpikir kita terhadap pekerjaan itu sendiri. Walaupun harus diakui bahwa terkadang kepenatan kita membuat kita kurang bisa bersikap “think global act local”. Terkadang tetap saja ada perasaan – perasaan kecil hati ketika melihat bahwa apa yang kita kerjakan tidak secara instant dapat langsung dilihat dampak atau keberhasilannya. Dan terkadang tetap saja ada perasaan – perasaan kesepian ketika melihat sedikitnya jumlah orang yang sedang berjalan menuju ke arah yang sama.
~upi, yang sedang berusaha mengumpulkan serpihan – serpihan semangat untuk memotivasi diri agar tetap bergerak~
0 comments:
Post a Comment