Daisypath Anniversary tickers

Tuesday, April 08, 2008

oase

Keluarga adalah oase yang memberikan kesejukan
Keluarga adalah tempat untuk saling menguatkan dalam keimanan
Keluarga adalah lahan subur dimana semangat jihad dan perjuang bisa ditanamkan


Bagi anda, pengunjung blog ini, pasti ada memperhatikan header di atas blog ini. Disitu tertulis "We have been married for 2 years ... month...week.." dan seterusnya. Otomatic counter yang menghitung perjalanan cinta kami belumlah mencapai angka 3 tahun, bahkan 2.5 tahun pun belum. Itu menunjukan usia pernikahan yang masih sangat muda. Walaupun begitu, kami punya cita - cita tinggi, bahwa keluarga kami haruslah menjadi oase yang memberikan kesejukan, tidak hanya bagi anggota keluarganya, tapi bagi setiap orang yang bersinggungan dengannya.


Banyak rintangan yang sudah kami lalui, bahkan rintangan yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam pikiran pun akhirnya harus kami hadapi. Tapi Saya selalu percaya, surga atau neraka kah hidup kita di dunia, itu semua ada di tangan kita. Saya juga percaya sepenuhnya, bahagia atau tidak nya keluarga kita, itu semua ada di tangan kita.


Sekian tahun perjalanan pernikahan ini, Alhamdulillah.. tidak pernah sekali pun terbersit penyesalan. Alhamdulillah.. tidak pernah sekali pun ada perasaan ingin kembali "seperti dulu". Saya merasa menjadi orang yang lebih baik dengan pernikahan ini. Merasa menjadi orang yang lebih tangguh karena selalu ada yang menguatkan. Merasa menjadi orang yang lebih dewasa karena selalu ada yang mengingatkan. Merasa menjadi orang yang lebih baik karena selalu ada yang membimbing.


Semoga Allah selalu melimpahkan kasih sayang-Nya untuk keluarga kecil kami. Semoga semua yang kami lalui kemarin, hari ini, dan esok nanti, hanya akan membuat kami lebih mencintai satu sama lain, dan lebih mencintai-Nya yang telah menganugrahkan cinta.


Buat ayang: seharusnya mereka membuat satu kata yang lebih dari kata "cinta", untuk menggambarkan apa yang ku rasa.

aaahh.....susahnya...

ternyata blogging itu ga gampang... butuh energi, konsentrasi juga hati yang lapaaaaangggg untuk menulis. dan juga butuh cinta... cinta terhadap tulis menulis kali yaah...
iyah.. ternyata blogging itu ga gampang. sebenernya bisa aja sih kita posting - posting tulisan curhat kita yang kacau beliau dan ga mutu (kayak tulisan ini) abis itu kita promosiin blog kita abis - abisan dan berharap teman - teman tercinta akan berkunjung ke blog kita.
mungkin itu bisa aja, tapi klo ga ada tulisan atau content yang cukup berkesan, dijamin pasti - amat sangat pasti, blog kita ga akan berkembang. kalo pun banyak pengunjung, mungkin sebagian besar (klo ga boleh dibilang semua) pengunjung yang datang ke blog kita adalah teman/orang yang kita kenal, dan mereka berkunjung hanya karena kecintaannya kepada kita. bukan karena tersihir atau terkesima dengan tulisan dan isi di blog kita..
aaahhh.... ternyata blogging itu ga gampang..... malah, klo boleh jujur, susaaaaaaaahhhh banget...
sama seperti susah nya nulis buku yang buat orang terbuka wacana nya atau terlarut dalam nuansa imajinasinya...

Tuesday, March 25, 2008

why read Qur'an?

This beautiful story is copied from an email at km3@yahoogroups.com

--------------------------------------------------------------------------------

An old American Muslim lived on a farm in the mountains of eastern Kentucky with his young grandson. Each morning Grandpa wakeup early sitting at the kitchen table reading his Quran. His grandson wanted to be just like him and tried to imitate him in every way he could.

One day the grandson asked, "Grandpa! I try to read the Qur'an just like you but I don't understand it, and what I do understand I forget as soon as I close the book. What good does reading the Qur'an do?"

The Grandfather quietly turned from putting coal in the stove and replied, "Take this coal basket down to the river and bring me back a basket of water." The boy did as he was told, but all the water leaked out before he got back to the house. The grandfather laughed and said, "You'll have to move a little faster next time," and sent him back to the river with the basket to try again. This time the boy ran faster, but again the basket was empty before he returned home. Out of breath, he told his grandfather that it was impossible to carry water in a basket, and he went to get a bucket instead.

The old man said, "I don't want a bucket of water; I want a basket of water. You're just not trying hard enough," and he went out the door to watch the boy try again. At this point, the boy knew it was impossible, but he wanted to show his grandfather that even if he ran as fast as he could, the water would Leak out before he got back to the house.

The boy again dipped the basket into river and ran hard, but when he reached his grandfather the basket was again empty. Out of breathe, he said, "See Grandpa, it's useless!"

"So you think it is useless?" The old man said,

"Look at the basket."

The boy looked at the basket and for the first time realized that the basket was different. It had been transformed from a dirty old coal basket and was now clean, inside and out.

"Son, that's what happens when you read the Qur'an. You might not understand or remember everything, but when you read it, you will be changed, inside and out. “
That is the work of Allah in our lives.

Tuesday, March 18, 2008

mahar

Pagi ini saya mendengar sesuatu yang membuat saya tertegun, yaitu cerita mengenai seorang akhwat yang meminta dinar dan dirham sebagai mahar nya. Ini bukan kisah tentang seorang shohabiyah di jaman Rasulullah, ini kisah nyata yang terjadi hari ini tanggal 18 Maret 2008, di sini, di kota Bandung tercinta.


Apa permintaan itu salah ? Tentu saja tidak. Karena memang tidak ada batasan maksimum ataupun minimum untuk sebuah mahar. Mau tahu yang lebih lucu? Ketika mendengar permintaan dari sang akhwat mengenai mahar yang berupa dinar dan dirham, komentar dari keluarga ikhwan nya adalah .. "Bedanya dinar sama dirham apa yah?"


Sekali lagi saya tegaskan, memang tidak pernah ada batasan minimum untuk ukuran sebuah mahar. Dalam hadits dikisahkan tentang seorang wanita yang rela menerima sepasang sendal sebagai maharnya,


Dari Amir bin Robi`ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?". Dia menjawab," Rela". Maka Rasulullahpun membolehkannya (HR. Ahmad 3/445, Tirmidzi 113, Ibnu madjah 1888).


Atau kisah spektakuler seorang Ummu Sulaim yang merasa cukup dengan keislaman sang calon suami sebagai mahar nya,


Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata," Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam, keislamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya". Maka jadilah keislaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa`ih 6/ 114).


Sebagaimana tidak adanya batasan minimum, batasan maksimum untuk sebuah mahar pun tidak ada. Dikisahkan ketika Umar Bin Khattab Ra berinisiatif memberikan batas maksimal untuk masalah mahar saat beliau bicara diatas mimbar. Beliau menyebutkan maksimal mahar itu adalah 400 dirham. Namun segera saja dia menerima protes dari para wanita dan memperingatkannya dengan sebuah ayat qur`an. Sehingga Umar pun tersentak kaget dan berkata,"Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari Umar". Kemudian Umar kembali naik mimbar,"Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan lakukan sekehendak anda"


Meskipun demikian, tentu saja mahar yang terbaik adalah mahar yang tidak memberatkan,


Dari Aisyah Ra bahwa Rasulullah SAW bersabda," Nikah yang paling besar barokahnya itu adalah yang murah maharnya" (HR Ahmad 6/145)


Kembali ke cerita tadi, saat ini dinar dan dirham diperdagangkan dalam bentuk koin emas dan perak dengan harga dinar berkisar 1.3 juta per keping. Ketika sang calon pengantin wanita meminta dinar dan dirham sebagai maharnya, apakah dia sudah memperhitungkan memberatkan atau tidak memberatkan kah permintaanya.


Kalau pihak keluarga ikhwan bahkan tidak tahu apa bedanya dinar dan dirham, bukankah cukup memberatkan bagi mereka untuk menyediakannya?


Teringat pengalaman saya sendiri, saya bahkan tidak terpikir untuk bertanya, mahar apa yang akan diberikan calon suami saya untuk saya. Saya baru tahu mahar yang beliau berikan untuk saya ketika kami berdua sudah ada dihadapan penghulu.

Monday, February 18, 2008

I'm a Student

Yah, kita semua adalah murid, dalam madrasah kehidupan ini. Dalam setiap fase kehidupan kita, kita adalah murid. Orang yang belajar dan terus belajar. Tidak ada satu pun kondisi yang kita hadapi dalam kehidupan kita yang pernah kita alami sebelumnya.

Kita belum pernah menjadi seorang anak sebelumnya. Oleh karena itu kita terus belajar bagaimana sebenarnya bersikap kepada orang tua, bagaimana memahami apa yang mereka hadapi. Belajar memahami sikap mereka ketika kita kanak – kanak, remaja, dan dewasa. Juga belajar bagaimana menghadapi kelebihan sekaligus kekurangan mereka sebagai orang tua.

Kita belum pernah menjadi istri/suami sebelumnya. Kalaupun ada yang menikah untuk kedua atau kesekian kalinya, tidak mungkin dia menghadapi kondisi yang 100 persen persis sama. Oleh karena itu kita harus belajar. Belajar memahami pasangan hidup kita. Belajar membaca pikirannya, apa yang dia suka dan apa yang dia tidak suka untuk kita lakukan. Belajar memposisikan diri sebagai setengah bagian yang harus melengkapi pendamping hidup kita. Belajar memahami emosi, perasaan ataupun pikiran yang melintas dalam kepala kita yang belum pernah kita alami sebelumnya. Dan yang menurut saya paling sulit adalah, belajar mencintai. Bukan untuk hari ini, bukan untuk besok, bukan juga untuk bulan ini atau tahun ini. Tapi belajar mencintai setiap hari. Mencintai dia hari ini, besok dan setiap hari nya sampai kelak Allah mempertemukan kita dengan pasangan kita di surga-Nya (amiin..).

Kita belum pernah menjadi orang tua sebelumnya. Kalaupun ada orang tua yang memiliki lebih dari 1 anak, pasti tidak akan mungkin mereka menghadapi kondisi yang 100 persen persis sama. Oleh karena itu kita harus belajar. Belajar menjadi orang tua bagi anak kita yang masih balita, belajar menjadi orang tua bagi anak yang sudah remaja atau dewasa. Belajar menjadi orang tua untuk si sulung, si bungsu, untuk anak yang perempuan, maupun yang laki – laki.

Dalam setiap fase kehidupan kita, dalam setiap peranan hidup kita, kita harus belajar. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, terpaksa atau sukarela, setiap orang pasti mengalami proses belajar dalam kehidupannya.

Dan yang pasti terjadi dalam sebuah proses pembelajaran adalah.. kegagalan. Tidak ada murid yang selalu mendapat nilai sepuluh dalam ujian yang ia lakukan. Tidak ada mahasiswa yang setiap tahun nya mendapat nilai A untuk semua matakuliah. Tidak ada orang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Tidak ada orang yang rangkaian kehidupannya hanya diisi dengan keberhasilan dan kesuksessan. Semua orang pasti memiliki kesamaan yaitu mereka pernah mengalami kegagalan. Yang berbeda adalah bagaimana menyikapinya.

I’m a student
Sometimes I’m successful, other times I failed.
I never meant to be failed, I try to deal with my failure instead

Wednesday, February 13, 2008

marriage

On the occasion of our 2 years and 3 month anniversary, and on the occasion of valentine’s day which is the day where almost the whole world suddenly become the slave of something they call love, I would like to copy an understanding about love and marriage that was reviewed in the book called To Be a Muslim. The book was written by Fathi Yakan.

Have a nice read…
------------------------------------------------------------------------------------
Acceptance of Islam carries the obligation to be part of its message by living one’s life in accordance with this message so that one is a Muslim in belief, worship, and morals. Living the message of Islam means working hard within one’s surrounding community at all levels from the family to the nation, to the community of mankind, since Islam was revealed for all mankind.

The Messenger of Allah (s) said: Whoever does not care about Muslims is not one of them.

If one’s duty is to establish the ummah or moral community in one’s society and to convey Islam to this society, the first step in fulfilling this duty is to make one’s home Islamic. One must establish the din or Islamic way of life in one’s immediate community, that is, in one’s family, with one’s wife or husband, children, and relatives in the extended family.

This is exactly what the Messenger of Allah (s) did at the beginning of his mission. Allah, the Almighty, has said: So call not on any other god with Allah or you will be among those under the penalty. And admonish your nearest kinsmen, and lower your wing to the believers who follow you. [Qur’an 26:213-215]

So the first responsibility of a Muslim, other than to oneself, is to one’s family, because Allah, the Almighty, has said: O you who believe! Save yourselves and your families from a fire whose fuel is men and stones, over which are (appointed) angels stern (and) severe who flinch not (from executing) the commands they receive from Allah, but do (precisely) what they are commanded? [Qur’an 66:6]

Responsibilities Before Marriage

Islamic teachings and practices help one to establish a Muslim family and secure it on the right path. The following directives facilitate observance of marital responsibilities:

1. Marriage is for the sake of Allah.
Its purposes are to establish a Muslim family, have offspring, transmit the message of Allah, and through them, carry on the human race. Allah, the Almighty, has said: Say: ”Allah did choose Adam and Noah, the family of Abraham, and the family of ’Imran above all people, offspring, one of the other. [Qur’an 3:34]

2. Marriage serves to protect one’s modesty and dignity, and one’s fear of the Lord.
The Prophet of Allah (s) said: Three [people] are entitled to Allah’s help. The fighter (mujahid) in the cause of Allah, the trustee, and the person who marries for protection (of his or her modesty). [Tirmidhi]
Whoever marries, has completed half of his religion, and the other half is fear of Allah. [Tabrani]

3. The choice of a lifetime partner, a wife or a husband, demands one’s best effort.
The Messenger of Allah (s) said: ”Choose[the best] for your generation because [the failure of a single] generation can lead to a crisis.” [Ibn Majah]

4. The qualities of a good wife are good behavior and religious commitment, not wealth and beauty.
The Messenger of Allah (s), said: Do not marry women because of their beauty; their beauty may spoil them. Do not marry them because of their money; their money may oppress them. But marry them because of their piety (din). And a slave girl, deaf, but pious is better. [Ibn Majah]

If a man marries a woman because of her (worldly) status, Allah will reward him only with degradation; and if a man marries her because of her wealth, this will bring him only poverty; and if a man marries because of her family, Allah will reward him only by humiliation; but if a man marries for the sake of Allah, Allah will bless him with her and bless her with him. [Tabrani]

Responsibilities In Marriage

The choice of a good spouse does not reduce one’s responsibilities after the marriage. As a matter of fact, one’s major responsibilities start right at the first moment of marriage. These are to:

1. Deal with one’s wife kindly so as to achieve mutual understanding.
The Messenger of Allah (s) said: The best of you are those who are best to their wives and I am the best (among you) to my family. [Ibn Majah and Al-Hakim]

The believers with the most perfect faith are those who have the best disposition and are kind to their wives. [Tirmidhi]

2. Develop harmony in thought and spirit based on love and not only on sexual compatibility.
A Muslim couple should read together, worship together, organize things together, and have time to enjoy each other and play together. Thus the Messenger of Allah (s) used to challenge his wife, ’Aisha, to run races and helped in her housework, even by mending shoes.

3. Base the relationship of marriage on Islam and in no way denigrate it or forsake it for convenience or out of weakness.
It was narrated that the Messenger of Allah (s) said: ”Whoever is submissive to the likes and dislikes of a woman will be thrown by Allah into Hell,” and. ”A man’s sin is as great as his wife’s ignorance.”
And, ”Shame on a man who becomes his wife’s slave.” [Al-Firdausi]

Sunday, February 10, 2008

Aisyah kecil duduk termanggu

Aisyah kecil duduk termanggu,
Wajah kecil nan lugu terlihat sangat sendu
Dia bilang…

Dulu aku punya ayah dan ibu
Walaupun keluarga kami tak sempurna,
Tapi aku punya ayah dan ibu

Sekarang ayah ku sangat sibuk
Sibuk mencari ibu baru untuk ku
Ibu yang menurutnya lebih baik dari ibu ku

Sekarang ibu ku juga sangat sibuk
Sibuk mempertahankah ayah ku
Kalau ia tak mampu,
Ia juga akan mencarikan ayah baru untuk ku

Ayah ku tak pernah lupa kirimkan uang untuk ku
Yang ia lupa, kirimkan kasih sayang untuk
Aku dan saudara – saudara ku

Ibu ku tak pernah lupa menyediakan makanan untuk ku
Yang ia lupa, sediakan pelukan dan belaian untuk
Aku dan saudara – saudaraku

Aku tidak pernah tau,
Kenapa Tuhan lahirkan aku
Sebagai anak ayah dan ibu ku

Yang Aku mau
Orang tua yang lebih baik dari ayah-ibu
Yang Aku mau
Keluarga yang lebih baik dari keluargaku

Tapi Aku tau
Bahwa Tuhan lebih tau
Apa yang terbaik untuk ku

Tapi Aku tau
Tuhan lebih tau
Bahwa aku mampu

Aku hanya perlu menemukan kekuatanku ...